ANALISIS KEMENANGAN SADIQ KHAN DALAM KONSTESTASI PEMILIHAN WALIKOTA LONDON

ANALISIS KEMENANGAN SADIQ KHAN DALAM KONSTESTASI PEMILIHAN WALIKOTA LONDON

MAKALAH

Oleh:
Firginiya Firdaus
NPM. 1346021010







JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016





                                                                        ABSTRAK
Dalam setiap kontestasi politik, terdapat faktor-faktor yang akan mempengaruhi kemenangan para kontestan. Faktor-faktor religiusitas dan etnisitas hari ini telah menjadi faktor yang sangat penting untuk mendapatkan simpati masyarakat selaku pemilih. Perilaku demikian terjadi pada pemilih yang lebih mengedepankan aspek sosiologis daripada rasionalitas.
Namun hal demikian dipatahkan dalam kontestasi politik pemilihan walikota london, Inggris. Sadiq Khan, kontestan yang mewakili partai buruh, dengan latar belakang agama Islam dan kultur yang sangat berbeda dengan masyarakat London pada umumnya, tampil menjadi pemenang kontestasi. Oleh karenanya, perlu dikaji, faktor-faktor apa saja yang mendukung kemenangan Sadiq Khan, mengingat tingkat Islamophobia di London cukup tinggi.
Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode studi pustaka, berdasarkan referensi dari literatur, jurnal, dan pemberitaan pada media nasional dan internasional. Pada beberapa bagian, penulis juga membandingkan keadaan di Inggris dengan yang terjadi di Indonesia.
Kata Kunci: Konstestasi Politik, Walikota London, Sadiq Khan



BAB I

PENDAHULUAN



1.1. LATAR BELAKANG

Dalam kontestasi politik, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap latar belakang kontestan menjadi pertimbangan yang sangat penting. Boleh jadi, perbedaan latar belakang dan cara pandang dari mayoritas masyarakat yang ada, membuat kontestan kalah, lebih jauh lagi berpotensi membuat yang bersangkutan didikreditkan. Hal tersebut sangat mungkin untuk terjadi terutama dalam konstestasi yang diikuti oleh 2 (dua) kontestan.

Perspektif minoritas, sekalipun sejatinya benar dan berdampak positif apabila diwujudkan dalam kebijakan –yang harus melalui kekuasaan, belum tentu dapat diterima tanpa metode penyampaian yang baik. Terlebih apabila perspektif minoritas tersebut berkaitan dengan SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan).

Namun demikian, tidak menuntut kemungkinan perspektif minoritas dapat diterima oleh masyarakat. Untuk dapat diterima, tentu ada beberapa kriteria yang dilakukan dan dicapai oleh kontestan. Masalah SARA, sebagaimana disinggung diatas, tentu dapat diatasi apabila masyarakat yang bersangkutan sudah mampu menerima perbedaan dan tidak mendiskreditkan minoritas (multikultural).

Multikulturalisme tersebut dapat menjadi tolok ukur, seberapa dewasa masyarakat dalam menjalankan demokrasi. Dapat ditarik konklusi sederhana, semakin multikulturalis suatu masyarakat, sama dengan semakin maju –dan dewasa dalam berdemokrasi. Hal demikian seyogyanya sangat dibutuhkan dalam proses politik, baik dalam kontestasi (pra terpilih) maupun perumusan regulasi (pasca terpilih), sehingga yang menjadi orientasi adalah efektifitas dari suatu kebijakan

Termasuk pada kontestasi walikota London, Ingrris yang digelar Mei 2016, perlahan menunjukkan bahwa beberapa negara –dengan parameter kota-kota besarnya, telah terbuka dan menerima perspektif minoritas untuk ikut serta dalam kontestasi politik. Hal ini dicapai oleh Sadiq Khan, calon yang unggul dan pada akhirnya menang untuk menduduki jabatan Walikota London. Hal ini menjadi catatan sejarah, bahwa Sadiq Khan, menjadi Walikota London pertama yang beragama Islam.

Hal tersebut menjadi bahasan menarik, mengingat mindset dunia terhadap pemikiran-pemikiran Islam, sebagai paham yang radikalis, termasuk London[1]. Artinya, ada sesuatu yang telah terjadi pada masyarakat London hari ini, yang menjadi multikulturalis. Selain dari faktor masyarakatnya, juga sangat mungkin ada cara, taktik, atau sesuatu yang ditampilkan oleh Sadiq Khan, sehingga ia bisa merebut simpati masyarakat untuk memilihnya.

Secara historis, Inggris memiliki peradaban yang cukup maju[2], Sehingga Inggris menjadi salah satu negara yang memiliki karakteristik dan sistem ketatanegaraan tersendiri. Hal ini memungkinkan pengaruhnya pada konfigurasi politik yang berbeda dengan negara-negara lain. Hal ini dapat dijadikan sebagai patokan untuk membandingkan sistem pemilihan walikota di London dengan pemilihan walikota –sebagai salah satu wujud kepala daerah di Indonesia. Apakah kemudian budaya multikulturalis di London dapat juga digunakan dalam konstestasi politik di Indonesia, dan sejauh mana efektivitasnya?[3] Pertanyaan tesebut dapat dijawab dengan melakukan perbandingan sistem pemilihan walikota antara kedua sistem pemilihan wali kotanya, baik di Inggris maupun di Indonesia.

Selayaknya konstestasi pada umumnya, tentu terdapat faktor-faktor yang berpengaruh pada kemenangan Sadiq Khan –termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi kekalahan lawannya, Gold Smith. Sedikit atau banyak, sikap multikulturalis sebagaimana telah disinggung diatas juga akan mempengaruhi perilaku pemilih pada tiap-tiap konstestasi. Tidak juga dapat dinafikkan bahwa tetap ada kemungkinan black campaign atau bahkan negative campaign dalam proses kampanyenya. Oleh karenanya, makalah ini ditulis untuk dapat menguraikan beberapa rumusan masalah tersebut.



1.2. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1.      Faktor apa saja yang mempengaruhi kemenangan Sadiq Khan dalam konstestasi pemilihan walikota London?

2.      Bagaimana  perilaku pemilih dalam konstestasi pemilihan Walikota London?

3.      Model campaign seperti apa yang dilakukan oleh para kontestan pemilihan Walikota London?



1.3. TUJUAN

2.      Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi kemenangan Sadiq Khan dalam konstestasi pemilihan Walikota London .

3.      Mengetahui perilaku pemilih dalam kontestasi pemilihan Walikota London.

4.      Mengetahui model campaign yang digunakan para konstestan pemilihan Walikota London.














BAB II

TINJAUAN PUSTAKA



2.1. SISTEM KETATANEGARAAN INGGRIS

Inggris adalah negara yang merupakan bagian dari Britania Raya. Letak kepulauan Inggris yang terisolasi dari benua Eropa menyebabkan banyak perbedaan sejarah dalam berbagai sistem ketatanegaraan antara Inggris dan negara-negara lain di Eropa. Termasuk dengan negara tetangganya, Irlandia, Inggris memiliki sistem yang berbeda, khususnya menyangkut pemerintahan daerahnya.

Sistem pemerintahan yang berlaku di Inggris adalah sistem parlementer, sehingga para menteri bertanggungjawab pada parlemen. Meskipun demikian, meskipun para menteri yang dipimpin oleh perdana menteri dapat dijatuhkan oleh parlemen, bukan berarti kepala negara yang dipegang oleh raja atau ratu dapat pula dijatuhkan. Sehingga seberapapun modern sistem yang diberlakukan di Inggris, pada hakikatnya negara ini tetap menganut sistem monarkhi tradisional, yang tidak dapat menjatuhkan raja atau ratu sebagai identitas persatuan bangsa.[4]

Parlemen Inggris ditinjau secara seremonial/keupacaraannya memang nampak prestige, namun dari bidang kekuasaannya sebenarnya tidak berlaku efisien. Ini dikarenakan peranannya untuk merumuskan kebijakan sangat limitatif. Berbeda dengan Indonesia, dimana DPR memiliki fungsi legislasi –sebagai fungsi utama untuk membuat kebijakan tertinggi setelah konstitusi berupa undang-undang, budgeting, serta pengawasan terhadap pemerintah.

Inggris menjadi salah satu negara di Eropa yang memiliki keunikan dalam sejarah politiknya. Selama tiga abad, kekerasan dan revolusi merupakan gambaran umum dalam kehidupan politik negara-negara besar Eropa pada abad ke-20; seperti Perancis, Jerman, Italia, Rusia, Polandia, dan Sapnyol. Namun berbeda dengan orang-orang Inggris, berhasil menyelesaikan perbedaan-perbedaan politik tanpa menggunakan kekerasan.[5] Hal ini ditambah dengan banyaknya bangsa di dunia yang mendapat pengaruh langsung dari sistem politik Inggris.

Negeri Inggris tidak mempunyai konstitusi tertulis. Tidak adanya konstitusi tertulis ini dianggap sebagai suatu keuntungan besar oleh banyak penulis tentang politik di Inggris Raya. Hal ini dikarenakan konstitusi yang tidak berbentuk dokumen tertulis, akan memudahkan pemerintah untuk menyesuaikan tindakan-tindakannya dan lembaga-lembaganya terhadap perubahan keadaan-keadaan dan tuntutan-tuntutan tanpa mengalami kesulitan dalam prosedurnya.[6]

Sedangkan dalam suatu konstitusi tertulis, hal tersebut sangat sulit dilakukan. Sangat mungkin terjadi perdebatan yang bersifat politis tentang tindakan-tindakan yang diambil pemerintah. Perdebatan yang terjadi pada akhirnya akan dikembalikan pada prinsip-prinsip konstitusionalitas. Dan mayoritas, perdebatan akan selesai –atau dimenangkan oleh kekuatan politik terkuat.[7]

Sistem hukum yang dianut oleh negara Inggris adalah Anglo Saxon[8]. Adapun mengenai hukum yang berlaku, hampir sama seperti kewenangan parlemennya, peranannya tidak terlalu dominan[9]. Justru sebagai negara yang tidak memiliki konstitusi tidak tertulis, sangat sedikit rakyat yang mengeluhkan tentang penindasan kebebasan sipil atau tidak adanya perlindungan hukum.[10]

Karakteristik pemerintahan di daerah-daerah Inggris juga memiliki ciri-ciri khas, misalnya komite-komite yang mendapat porsi kerja lebih besar, kecilnya peranan eksekutif, dan tidak adanya sistem gubernur provinsi (Norton, 1994; Byrne 1990; Curtis, 1993 dalam Sarundajang, 2011). Sampai dengan abad ke-19, pemerintahan daerah di Inggris mayoritas dijalankan oleh dewan dan hakim pengadilan yang ditunjuk. Kekuasaan dewan ditekankan pada kenyataan bahwa otoritas bagi kegiatan daerah sepenuhnya bertumpu pada dewan (council), sehingga kemudian dikenal county council, borough council, dan district council.[11]

Dewan banyak menggunakan komite, sehingga pemerintahan daerah Inggris Raya adalah “pemerintahan oleh, dari, dan melalui komite” (Wheare, 1961:195). Diketahui bahwa komite di Inggris bukan hanya mempersiapkan keputusan bagi dewan, tetapi juga melakukan pengawasan terhadap program yang telah disetujui. Fungsi tersebut hampir sama dengan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD terhadap pemerintah daerah di Indonesia.

Selain itu, peranan eksekutif pada pemerintahan daerah di Inggris sangatlah kecil. Pemerintahan daerah Inggris Raya tidak memiliki badan pengurus (board) dan pemimpin eksekutif yang mengkoordinasikan kegiatan berbagai komite secara efektif. Kepala departemen bekerja secara individu langsung dengan komite dan tidak bertanggungjawab kepada satupun pemimpin eksekutif. Sekretaris dan juga bendahara, berusaha berkoordinasi terkait kegiatan daerah, dan tidak memiliki otoritas untuk memberi petunjuk secara menyeluruh.[12]

Di negara-negara Anglo Saxon lainnya, walikota pada umumnya mempunya peranan lebih kuat. Dalam hal ini, terdapat indikasi bahwa pemerintah daerah di Inggris mulai memberi peranan yang lebih besar kepada sekretaris dari sekedar pegawai biasa[13], menjadi seorang pimpinan dalam suatu hierarki[14], disamping rekomendasi pembentukan badan pengurus eksekutif (Bryne, 1990).

2.2. PERILAKU PEMILIH

Studi tentang perilaku memilih merupakan studi mengenai alasan dan faktor  yang menyebabkan seseorang memilih suatu partai atau kandidat yang ikut dalam  kontestasi politik. Perilaku memilih baik sebagai konstituen maupun masyarakat  umum di sini dipahami sebagai bagian dari konsep partisipasi politik rakyat dalam  sistem perpolitikan yang cenderung demokratis. Menurut Firmanzah  (Efriza,2012:480) secara garis besar, pemilih diartikan sebagai semua pihak yang  menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar  mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang  bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat  yang merasa diwakili oleh suatu idiologi tertentu yang kemudian dimanifestasikan  dalam institusi politik seperti parpol.

Secara teoritis, perilaku pemilih dapat diurai dalam tiga pendekatan utama,  masing-masing pendekatan sosiologi, psikologi, dan pilihan rasional. Pendekatan  sosiologi, pendekatan ini lahir dari buah penelitian Sosiolog, Paul F. Lazersfeld dan rekan sekerjanya Bernard Berelson dan Hazel Gaudet dari Columbia University. Karenanya model ini juga disebut Mazhab Columbia. (Dieter Roth, 2008).

Apabila dikaji lebih jauh, ada beberapa perilaku pemilih dalam menyikapi pemilu. Pertama, pemilih yang mengedepankan rasionalitas nilai. Max Weber mengemukakan rasionalitas nilai ialah pengambilan keputusan berdasarkan nilai yang dipegang teguh. Dalam kaitannya dengan pemilu, rasionalitas nilai ialah bagaimana pemilih menjatuhkan pilihan pada calon yang diyakini memiliki kesamaan nilai dengan dirinya, baik itu agama, ras, etnis, dan lain-lain.[15]

Pertama, pemilih yang mengedepankan rasionalitas nilai. Max Weber mengemukakan rasionalitas nilai ialah pengambilan keputusan berdasarkan nilai yang dipegang teguh. Dalam kaitannya dengan pemilu, rasionalitas nilai ialah bagaimana pemilih menjatuhkan pilihan pada calon yang diyakini memiliki kesamaan nilai dengan dirinya, baik itu agama, ras, etnis, dan lain-lain. Pemilih dengan rasionalitas nilai jumlahnya tidaklah sedikit di Indonesia. Di banyak pemilihan kepala daerah (pilkada), nilai-nilai primordial sering menguat dan dijadikan sebagai acuan pemilih dalam menentukan pilihan[16]. Faktor suku dan agama lebih dominan ketimbang kapasitas, kredibilitas, dan integritas dari sang kandidat.

Kedua, pemilih dengan rasionalitas tujuan. Menurut Weber, rasionalitas tujuan adalah pola pikir yang bertumpu pada apa yang akan diperoleh. Pemilih memutuskan pilihannya pada calon yang dirasa dapat memenuhi keinginan dan kebutuhannya, meski hanya berupa sedikit keuntungan yang sifatnya sementara[17].  Perilaku pemilih yang demikian menilai pemilu bukan lagi sarana untuk mencurahkan harapan kepada calon kontestan. Pemilih menganggap program dan janji yang ditawarkan caleg bukan hal yang menarik dan penting untuk diketahui.

Ketiga, pemilih yang kritis. Pemilih kritis kecenderungannya ialah memiliki perhatian besar pada pada program kerja dan kebijakan parpol atau kandidat. Firmanzah (2008) memaparkan bahwa pemilih kritis akan menjadikan nilai-nilai ideologi sebagai pijakan untuk menentukan parpol mana yang akan dipilih, kemudian mengkritisi kebijakan atau program kerja yang akan atau yang telah dilakukan oleh parpol atau kandidat peserta pemilu[18].

Keempat, pemilih skeptis. Pemilih skeptis tidak memiliki orientasi dengan ideologi, nilai, program kerja, dan kontestan tertentu. Mereka adalah kelompok masyarakat yang skeptis dan tidak yakin terhadap pemilu. Dalam pandangannya, parpol yang memenangkan pemilu tidak akan membawa dampak perubahan yang berarti[19]. Kalaupun berpartisipasi dalam pemilu, pemilih skeptis hanya menganggap pemilu sebagai ritual lima tahunan. Selebihnya, merupakan perilaku yang abai sama sekali terhadap kontestasi politik, atau di Indonesia populer dengan istilah golongan putih.

2.3. KAMPANYE DALAM PEMILIHAN UMUM

Terdapat banyak definisi mengenai kampanye yang dikemukakan oleh para ilmuwan komunikasi, namun berikut ini adalah beberapa definisi yang  populer. Snyder (2002) dalam Venus (2004), mendefinisikan bahwa kampanye komunikasi merupakan aktivitas komunikasi yang terorganisasi, secara langsung ditujukan kepada masyarakat tertentu, pada periode waktu yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan tertentu. Pfau dan Parrot (1993). dalam Venus (2004), mendefinisikan kampanye sebagai kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk menunjang dan meningkatkan proses pelaksanaan yang terencana pada periode tertentu yang bertujuan mempengaruhi masyarakat sasaran tertentu.

Rogers dan Storey (1987) dalam Venus (2004), mendefiniskan kampanye  sebagai serangkaian kegiatan komunikasi yang terorganisasi dengan tujuan untuk menciptakan dampak tertentu terhadap sebagian besar masyarakat sasaran secara berkelanjutan dalam periode waktu tertentu.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, Venus (2004) mengidentifikasi bahwa  aktivitas kampanye setidaknya harus mengandung empat hal yakni,

(1)    ditujukan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu;

(2)    ditujukan kepada jumlah masyarakat sasaran yang besar;

(3)    dipusatkan dalam kurun waktu tertentu, dan;

(4)    dilakukan melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisasi.

Kampanye politik adalah bentuk komunikasi politik yang dilakukan seseorang  atau sekelompok orang atau organisasi politik dalam waktu tertentu untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat (Arifin, 2003).

Salah satu jenis kampanye politik adalah kampanye massa, yaitu kampanye  politik yang ditujukan kepada massa (orang banyak), baik melalui hubungan  tatap muka maupun dengan menggunakan berbagai media, seperti surat kabar, radio, televisi, film, spanduk, baligo, poster, folder dan selebaran serta medium interaktif melalui komputer (internet). Penyampaian pesan politik melalui media massa merupakan bentuk kampanye yang handal dalam hal menjangkau masyarakat luas. Kampanye politik saat ini sudah mengadopsi prinsip-prinsip pemasaran dan pembentukan citra. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena sistematika pemilihan kepala kampung adalah langsung. Kegiatan untuk membangun citra atau image merupakan bagian penting  dalam kampanye politik untuk memperoleh dukungan. Terkait dengan komunikasi dalam kampanye politik, terdapat beberapa aktivitas komunikasi yang dapat diidentifikasi.











BAB III

PEMBAHASAN



Kontestasi politik Walikota London telah dihelat pada 6 Mei 2016 lalu. Berdasarkan rekapitulasinya, Sadiq Khan tampil sebagai pemenang kontestasi. Kemenangan tersebut merupakan hal yang baru, mengingat Sadiq Khan merupakan kontestan dengan latar belakang kultur dan agama yang berbeda dengan mayoritas masyarakat London. Ia merupakan pemeluk agama Islam, dengan orang tua berasal dari pakistan dan bekerja sebagai supir bus dan penjahit.

Isu-isu etnisitas dan religiusitas kini sangat berpengaruh terhadap paradigma masyarakat sebagai pemilih. Hal ini akan sangat nampak terutama apabila konstestan beragama Islam –yang terlanjur dipersamakan dengan ekstrimis, di negara-negara yang mayoritasnya non-muslim. Bila diperbandingkan dengan keadaan yang pernah terjadi di Indonesia, sekalipun mayoritas penduduknya menganut agama Islam, dalam kenyataannya tetap saja mengalami persuasi politik seperti yang pernah terjadi pada tahun 1945 dan 1950-an di Era Soekarno (1945-1966), berbagai isu ideologis mengenai Pancasila pada masa Soeharto.[20] Keadaan demikian menekankan bahwa kehidupan beragama, dimanapun wilayahnya, akan tetap terinjeksi oleh keadaan-keadaan politik –yang mungkin bahkan dianggap problematika suatu bangsa.

Jalan keluar untuk keluar dari stigma semavam ini dan memenangkan kontestasi adalah dikembalikan pada perilaku pemilih pada masyarakat yang bersangkutan. Apabila masyarakat sudah dapat memilih secara rasional, maka akan ditemui cara untuk menang, yaitu dengan mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan secara matang dan proporsional. Bila cara demikian tidak dilakukan, maka alternatif lain yang akan muncul adalah black campaign atau bahkan negative campaign, yang seyogyanya tidak terjadi pada masyarakat yang sadar dan dewasa dalam berdemokrasi.

Hal-hal yang kemudian dapat disimpulkan sebagai faktor-faktor kemenangan Sadiq Khan, yaitu: perilaku pemilih di Kota London yang sudah menggunakan rasionalitas dan mengara pada multikulturalis, juga kesederhanaan kampanye yang dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat London, serta dukungan partai dan pengalaman politis yang sebelumnya pernah dijalani Sadiq Khan.

Asumsi bahwa perilaku pemilih Kota London sebagai pemilih rasional, berdasar pada jumlah negara di Eropa (sebagai sampel negara-negara dimana Islam adalah agama minoritas) dengan pemimpin dan pemimpin daerah dengan level ibukota seorang Muslim sangat minim. Di Inggris, pemimpin yang seorang Muslim baru pertama kali ditorehkan oleh Sadiq Khan, dan di Eropa, ini adalah kali kedua, setelah sebelumnya Ahmad Abutalib berhasil Walikota Rooterdam, Belanda.[21]

Kemenangan atas dasar rasionalitas pemilih mengindikasikan bahwa masyarakat London telah ada dalam dua fase, yaitu multikulturalis dan dewasa dalam berdemokrasi. Sifat rasionalitas multikulturalis ini akan mendukung pembangunan, sebab masyarakat lebih mengedepankan visi dan arah yang ditentukan oleh pemimpinnya, bukan lagi pada nilai transaksional yang mampu diberikan oleh kontestan, bukan juga pada strategi pig barrel politics,[22] yang menjadi langkah petahana untuk mempertahankan kekuasaannya[23].

Dengan adanya kedewasaan dalam berdemokrasi, masyarakat lebih dapat menilai kontestan mana yang lebih berbobot. Sekalipun dalam kampanye yang telah berlalu, terindikasi black campaign oleh Zac Goldsmith yang membawa isu-isu religiusitas dan etnisitas[24]. Justru dengan kedewasaan tersebut, masyarakat akan jenuh dan jengah terhadap black campaign yang dilakukan, sehingga hal tersebut malah menurunkan elektabilitas Zac Goldsmith.

Sikap multikulturaslis juga selanjutnya akan membuka cara pandang masyarakat terhadap visi yang disampaikan oleh para kontestan. Hal yang sering terjadi di Indonesia misalnya, selain banyak memberikan nilai trankaksional kepada masyarakat dengan ekonomi menengah kebawah (semisal memberikan sembako, dan kaos),  para peserta pemilihan juga mengincar para pemilih pemula (semisal mahasiswa tingkat awal atau para siswa yang umurnya sudah cukup untuk mejadi pemilih) cengan produk-produk yang dibalut sebagai apresiasi, juga berau semi akademik. Para calon berbondong-bondong mengadakan event yang mengatasnamakan pendidikan, memberikan penghargaan, juga berlomba-lomba mencetak buku, padahal substansinya sangat jauh dari bobot minimal, seperti hanya memampang foto calon yang bersangkutan, atau riwayat organisasinya sehingga menarik perhatian pemilih dengan latar belakang organisatoris.

Pada masyarakat yang telah lebih dewasa dalam berdemokrasi, produk-produk demikian tetap dihargai, namun sama sekali bukan menjadi alasan untuk memilih kontestan. Sebaliknya, produk-produk tersebut akan berpotensi menurunkan elektabilitas kontestan, terlebih apabila produk tersebut tidak memiliki bobot yang terlalu berarti. Sikap yang akan timbul dalam keadaan seperti ini antara lain menolak secara tegas produk-produk yang disodorkan, atau menerima sebanyak-banyaknya produk dari berbagai calon, dengan tetap mempunyai satu pilihan yang menurutnya paling cocok.

Masyarakat mulai sadar, bahwa visi yang sesungguhnya bukan visi yang dibalut dengan istilah-istilah yang terlalu tinggi, karena menjalankan tugas pemerintahan berbeda dengan menjalankan tugas penelitian atau pendidikan tinggi. Pemerintah bukan sebuah lembaga penelitian politik, sehingga harus menggunakan bahasa yang cenderung lebih simpel dan dapat dimengerti oleh semua kalangan –bukan hanya para pengamat, ahli politik, penegak hukum, dan akademisi. Hal seperti inilah yang telah dilakukan oleh Sadiq Khan, menuliskan visinya dengan kata-kata sederhana. Ia tidak menonjolkan bahwa dirinya seorang akademisi atau politisi ulung, sehingga visinya lebih menonjolkan sisi humanis: “Cerita saya adalah sejarah London. Ibu kota London telah memberikan kesempatan kepada saya untuk masuk dan menjalankan kabinet. Visi saya untuk London adalah sederhana yaitu membuat semua warga London memiliki kesempatan yang sama sebagaimana diberikan warga London kepada saya. Saya akan mewujudkan rumah yang terjangkau, pekerjaan dengan gaji layak, sistem transportasi terjangkau dan modern, serta lingkungan yang aman, bersih, dan sehat.[25]

Dukungan partai juga tidak dapat dinafikkan dalam konestasi politik. Partai sebagai sarana mobilitas nyata merupakan modal utama. Sadiq Khan, yang mewakili partai buruh kali inipun nyata telah menang dari rivalnya, yang berasal dari partai konservatif.

Selain dari beberapa hal diatas, track record Sadiq Khan juga menjadi modal yang membuatnya tidak diremehkan. Pengalamannya dibidang pemerintahan, yang pada tahun 2008 pernah ditunjuk oleh Perdana Menteri Gordon Brown sebagai Menteri Komunitas, dan selanjutnya menjadi Menteri Transportasi. Sebelumnya, ia juga pernah menjadi pengacara yang dengan bidang hak asasi manusia. Hal ini juga menjadi sala satu faktor kemenangannya, karena dengan rekam jejak yang jelas, masyarakat tidak menjadi ragu dan menganggapnya sebagai salah satu tokoh yang memiliki kompetensi.











BAB IV

PENUTUP



Kesimpulan

Ada beberapa faktor yang mendukung kemenangan Sadiq Khan dalam kontestasi pemilihan Walikota London, yakni:

1.      Sikap multikulturalis yang membuat masyarakat London menjadi lebih terbuka dan dewasa dalam berdemokrasi;

2.      Black campaign yang dilakukan oleh rivalnya, Zac Goldsmits, dimana black campaign pada masyarakat yang telah dewasa berdemokrasi justru tidak dapat diterima dan menurunkan elektabilitas;

3.      Dukungan partai buruh yang sejalan dengan visi Sadiq Khan; dan

4.      Rekam jejak Sadiq Khan yang membuatnya memiliki kompetensi unggul.

Poin yang kemudian juga menjadi penting adalah, penguatan politik Islam di beberapa negara non muslim. Lepas dari menang artau kalah, Shadiq Khan telah tampil dimuka publik London dan dapat diterima meskipun ia merupakan golongan minoritas




DAFTAR PUSTAKA

Literatur

·         Ismail, Faisal, 1999. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila. Yogyakarta: Tirta Wacana.

·         Mas’oed, Mohtar dan Colin MacAndrews (editor), 2011. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

·         Syafiie, Inu Kencana dan Andi Azikin, 2007. Perbandingan Pemerintahan. Bandung: Refika Aditama.



Jurnal

·         Zubaedi (2004) Telaah Konsep Multikulturalisme dan Implementasinya dalam Dunia Pendidikan. Jurnal Hermeneia\Vol-3-No-1-2004.



Halaman Internet

·         http://lampost.co/berita/perilaku-pemilih-pada-pemilu diakses pada 14 Mei 2016

·         http://lampost.co/berita/-politik-gentong-babi- (17 April 2015) diakses pada 24 April 2015




































LAMPIRAN




Ahad, 08 Mei 2016, 00:10 WIB

Mengenal Lebih Dekat Sadiq Khan, Wali Kota London Muslim Pertama

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Angga Indrawan

AP Photo/Kirsty Wigglesworth


Sadiq Khan, Wali Kota Muslim pertama London.

REPUBLIKA.CO.ID, Nama Sadiq Khan mendadak jadi perbincangan dunia internasional setelah memenangkan pemilihan umum di London. Putra seorang sopir bus itu menjadi wali kota pertama Muslim London, Sabtu (7/5).

Kemenangan Khan membuat dia menjadi Muslim pertama yang menjabat sebagai wali kota di Barat negara tersebut. Kemenangan ini dipastikan lepas tengah malam di dalam bangunan kaca London setelah hasil pemilu untuk Partai Buruh di negara itu dikumpulkan.

Meski mendapat pukulan telak di Skotlandia, di mana ia berada  di posisi ketiga di belakang Partai Nasional Skotlandia dan Konservatif Inggris yang berkuasa. Partai Buruh melakukan lebih baik dari yang diharapkan di Inggris, menyelamatkan pemimpin berhaluan kiri tersebut.

Kemenangan besar dengan menyabet jabatan wali kota Inggris didapat pria berusia 45 tahun tersebut setelah melawan Konservatif Zac Goldsmith (41 tahun), putra seorang pemodal miliarder. Khan meraup 44 persen suara sementara Goldsmith hanya 35 persen. 

Marjin kemenangan Khan 13,6 persen atas Goldsmith ini adalah yang terluas di pemilihan wali kota London dalam 16 tahun. Hal ini menunjukkan kampanye gelap yang menuduh Khan memiliki hubungan dengan ekstremis dan tuduhan anti-semitisme dalam jajaran Buruh telah gagal mencegah para pemilih memberikan suaranya untuk Khan.

Sebelumnya, kampanye Goldsmith ditandai dengan tuduhan kampanye "kotor" dan "negatif", termasuk dari dalam partainya sendiri karena penekanannya pada hubungan Khan dengan dugaan ekstremis. Kritikus menuduh Goldsmith menyerang Khan atas dasar keyakinan Islam dan label rasis dalam kampanyenya. Respons Sadiq Khan dan Buruh sangat marah. Mereka mengatakan bahwa Konservatif sedang bermain halus dan bahkan tidak begitu halus dengan menyebar Islamofobia dan kampanye rasis. 

"Pemilu ini bukan tanpa kontroversi dan saya sangat bangga bahwa London hari ini memilih harapan di atas ketakutan dan persatuan di atas perpecahan," ujar Khan dalam pidato singkatnya.

Dalam kesempatan tersebut, Khan menegaskan, takut tidak membuat warga lebih aman. "Itu hanya membuat kita lemah dan ketakutan politik sama sekali tidak diterima di kota kami," lanjut dia.

Ucapan selamat untuk Khan membanjiri jagat media sosial. Sebagian besar mengucapkan selamat kepada Khan dan menyatakan bangga terhadap keberagaman Inggris. Ucapan dari jauh seperti New York juga diterima Khan. "(Saya) mengirim ucapan selamat kepada walikota London baru dan rekan kerja yang menganjurkan perumahan terjangkau  @SadiqKhan," tulis wali kota Bill de Blasio di Twitter.

Anggota parlemen Partai Buruh kini menggantikan Konservatif Boris Johnson yang berkuasa atas 8,6 juta warga selama delapan tahun. Johnson merupakan seorang juru kampanye utama bagi Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa dan dipandang sebagai pesaing David Cameron dalam pemimpin partai dan perdana menteri.

Anak Seorang Imigran


Sadiq Khan lahir di Rumah Sakit St George di Tooting, London Selatan. Putra kelima dari delapan bersaudara ini hidup sebagai putra imigran dari Pakistan yang menetap di London pada 1960.

Lahir di London dari keluarga Pakistan-Inggrs kelas pekerja, Khan banyak menghabiskan waktu untuk bekerja memenuhi kehidupan. Khan muda bersekolah, mempelajari ilmu pengetahuan alam dan matematikan dengan harapan memenuhi kualifikasi sebagai dokter gigi.

Namun, seorang guru menganjurkan Khan untuk belajar hukum karena kepribadiannya yang argumentatif. Khan memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas London Utara. Ia kemudian menjadi seorang pengacara hak asasi manusia sebelum terpilih sebagai anggota parlemen Partai Buruh untuk konstituen London utuk Tooting pada 2005.

Pada 2008, Gordon Brown, mantan Perdana Menteri Inggris memasukkan Khan di kabinetnya sebagai Menteri Masyarakat dan kemudian Menteri Transportasi. Setelah Buruh kehilangan kekuasaan pada 2010, pemimpinnya, Ed Miliband memasukkan Khan dalam kabinet bayangan.

Pada 11 Mei 2015, pria kelahiran 8 Oktober 1970 ini mengundurkan diri dari kabinet bayangan untuk menjadi nominasi calon wali kota Partai Buruh. Ia memenangkan pencalonan pada 11 September 2015.

Sumber: http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/global/16/05/08/o6tgu4365-mengenal-lebih-dekat-sadiq-khan-wali-kota-london-muslim-pertama-part1

Sadiq Khan becomes first Muslim mayor of London


Agencies | Dawn.com — Updated May 07, 2016 01:51pm

LONDON: Opposition Labour lawmaker Sadiq Khan was elected mayor of London with 57 per cent of the vote, final results showed Saturday, making him the first Muslim mayor of a major Western capital.

The 45-year-old son of a London bus driver and a seamstress won 1,310,143 votes against 994,614 for his main Conservative rival Zac Goldsmith, 41, the son a wealthy tycoon.

Labour leader Jeremy Corbyn hailed Khan's win over Conservative Zac Goldsmith, after a bitter campaign in which Prime Minister David Cameron sought to link Khan to Islamic extremists.

“Congratulations Sadiq Khan. Can't wait to work with you to create a London that is fair for all!” Corbyn wrote on Twitter ahead of the publication of final results.

After a negative campaign in which Khan was accused by his rival of sympathising with Islamic extremists, the 45-year-old former human rights lawyer promised in his acceptance speech to be a “mayor for all Londoners”.

“This election was not without controversy and I am so proud that London has today chosen hope over fear and unity over division,” he said after the result was declared at City Hall, to applause and cheers from supporters.

London's new Mayor Sadiq Khan (R) addresses the media as Paul Golding (Far L) the candidate for Britain First, turns his back during the address at City Hall in central London on May 7, 2016. —AFP

“I hope that we will never be offered such a stark choice again. Fear doesn't make us safer, it only makes us weaker, and the politics of fear is simply not welcome in our city."

As he was speaking the candidate for the far-right Britain First party, Paul Golding, who was lined up with the other loosing candidates behind Khan, turned his back.

The local MP for Tooting, Khan succeeds the charismatic Boris Johnson, an advocate of Britain's departure from the European Union who is seen as one of the favourites to succeed Cameron.

Other mayors including Anne Hidalgo in Paris and Bill de Blasio in New York quickly congratulated Khan.

“Sending congratulations to London's new mayor and fellow affordable housing advocate Sadiq Khan,” de Blasio said.

Corbyn, who has faced opposition from centrists in his party since becoming leader last year, insisted his party had “hung on” and surpassed expectations.

“All across England last night we were getting predictions that we were going to lose councils. We didn't,” he said.

“We hung on and we grew support in a lot of places. “With results in from 110 out of 124 councils, Labour had 55, down one, and 1,176 seats, down 25.

Prime Minister David Cameron's Conservatives had control of an unchanged 30 councils and 650 seats, down 23.

A BBC projection suggested that Labour would win 31 percent of the vote share nationally compared to 30 percent for the Conservatives.

“The Labour Party is in serious trouble, although the likely election of a Labour candidate to be London mayor will distract from that,” said Matthew Goodwin, politics professor at Kent University.

The voting day dubbed “Super Thursday” in which 45 million Britons were eligible to vote came after a bitter few weeks of sniping between the Conservatives and Labour.

Corbyn set up an inquiry into anti-Semitism and racism in Labour after former London mayor Ken Livingstone was suspended for claiming Nazi dictator Adolf Hitler supported Zionism.

Several other Labour politicians were also suspended.

Cameron is also grappling with deep splits in his party ahead of the June 23 referendum on Britain's membership of the European Union.





London mayor: The Sadiq Khan story


, 7 May 2016

Labour's Sadiq Khan has been elected as London's new mayor - but who is the man who will be in charge of the UK's capital city for the next four years?

Sadiq Khan's life to date has been characterised by beating the odds - which is what he has just done to become mayor of London.

When Labour politicians put themselves forward to run for mayor last year, Mr Khan was far from being the favourite. The bookies' money was on Baroness Jowell, a veteran of the Tony Blair years who had helped bring the Olympics to London.

But if there is a pattern in Mr Khan's career, it's one of coming from behind.

The new mayor did not have a privileged start in life. He was one of eight children born to Pakistani immigrants, a bus driver and a seamstress, on a south London housing estate.

From an early age, he showed a firm resolve to defy the odds in order to win success for himself and the causes important to him.

That resolve has won him the biggest personal mandate in the UK, a job with wide-ranging powers over London and with enormous emotional significance for him.

Some question whether he has the experience or record of good judgement necessary for the role.

He insists he is there to represent all Londoners and to tackle inequality in the capital, and now he has the chance to prove it.

Image copyright Getty Images Image caption Sadiq Khan says he will represent all Londoners - he may not have time for selfies with them all

Age: 45

Marital status: Married with two daughters

Political party: Labour

Time as MP: Has represented Tooting in south London since 2005

Previous jobs: Human rights solicitor, chair of Liberty

Council estate beginnings


Image copyright Sadiq Khan Image caption Sadiq Khan, centre, and two of his brothers

"Son of a bus driver" became one of the most hackneyed phrases in Mr Khan's time on the stump - so overused in his leaflets and speeches that he was eventually forced to make fun of his own campaign, joking he had given the Daily Mirror an "exclusive" on his background.

But his parents' story holds real significance for him. Amanullah and Sehrun Khan emigrated from Pakistan to London shortly before Sadiq was born, in 1970. He was the fifth of their eight children - seven sons and a daughter.

He has often said that his early impressions of the world of work shaped his belief in the trade union movement. His father, a bus driver for 25 years, "was in a union and got decent pay and conditions" whereas his mum, a stay-at-home seamstress, "wasn't, and didn't".

He lived with his parents and siblings in a cramped three-bedroomed house on the Henry Prince Estate in Earlsfield, south-west London, sharing a bunkbed with one of his brothers until he left home in his 20s.

He attended the local comprehensive, Ernest Bevin College, which he describes as "a tough school - it wasn't always a bed of roses". The nickname "Bevin boys" was at that time in that part of south London a byword for bad behaviour.

It was at school that he first began to gravitate towards politics, joining the Labour Party aged 15. He credits the school's head, Naz Bokhari, who happened to be the first Muslim headteacher at a UK secondary school, with making him realise "skin colour or background wasn't a barrier to making something with your life".

Mr Khan was raised a Muslim and has never shied away from acknowledging the importance of his faith. In his maiden speech as an MP he spoke about his father teaching him Mohammed's sayings, or hadiths - in particular the principle that "if one sees something wrong, one has the duty to try to change it".

He was an able student who loved football, boxing and cricket - he even had a trial for Surrey County Cricket Club as a teenager. He has since spoken about the racist abuse he and his brothers faced at Wimbledon and Chelsea football matches, saying he felt "safer" watching at home and became a Liverpool fan simply "because they were playing such great football at the time".

He studied maths and science at A-level with the idea of becoming a dentist. He was switched on to law by a teacher who told him "you're always arguing" - and by the TV programme LA Law, starring Jimmy Smits as Victor Sifuentes, a charismatic partner in a California law firm.

"LA law was about lawyers in LA who do great cases, act for the underdog, drove nice cars, look great and I wanted to be Sifuentes," Mr Khan told Business Insider recently.

Image copyright Sadiq Khan Image caption He abandoned the idea of training as a dentist in favour of law after a teacher told him "you're always arguing"

Courtroom crusader


He studied law at the University of North London and put his degree to good use straight away, becoming a trainee solicitor in 1994 at Christian Fisher under the human rights lawyer Louise Christian.

The same year he met and married his wife Saadiya Ahmed, a fellow solicitor and coincidentally the daughter of a bus driver - with whom he went on to have two daughters, Anisah and Ammarah. He also began his 12-year stint as a councillor for Tooting, encouraged by Guyanan-born local activist Bert Luthers.

Just three years later, aged 27, he was made an equity partner and the firm was renamed Christian Khan.

During this time he worked on a number of high-profile cases: he won compensation for Kenneth Hsu, a hairdresser wrongly arrested and assaulted by the police; teachers and lawyers who had experienced racial discrimination; Leroy Logan, a senior black police officer accused of fraud; corrupt former Met Police commander Ali Dizaei; and helped overturn an exclusion order (later upheld on appeal) on US political activist Louis Farrakhan.

The irony of a man who represented people in cases against the Met going on to become the force's chief scrutineer has not been lost on his opponents. Conservative candidate Zac Goldsmith, speaking at an event alongside Home Secretary Theresa May, recently characterised Mr Khan's legal career as "coaching people in suing our police".

He left his law firm somewhat abruptly in 2004, afterwards telling the Law Gazette: "If you're in government, you're a legislator and you have the opportunity to make laws that can improve things for millions of people."

In 2005, Mr Khan fought and retained the marginal seat of Tooting for Labour, one of five new ethnic minority MPs elected that year.

Contemporaries on either side of the political divide remember being impressed by a "fiercely bright" and "persuasive" individual who was "impossible not to listen to".

He combines that sharpness with what is often called his "cheeky chappy" demeanour. He is fond of calling people "mate" and has even done so on the floor of the Commons.

'Voice of reason'


Two months after he entered the Commons, he was thrust into the limelight by the 7 July bombings.

When Parliament met to discuss the attacks, he told MPs: "Today Londoners and the rest of the UK have even more reason to be proud of Londoners - proud of the way heroic Londoners of all faiths, races and backgrounds, victims, survivors and passers-by, acted on Thursday; proud of the way ordinary courageous Londoners carried on with their business and stopped the criminals disrupting our life."

In a 2010 Guardian interview, he recalled thinking: "I couldn't hide - and I don't mean this in an arrogant way, but there were so few articulate voices of reason from the British Muslim community.

"There were angry men with beards, but nobody saying, 'Actually, I'm very comfortable being a Brit, being a Muslim, being a Londoner'."

The intervention marked him out as one to watch, but his path to promotion was not altogether smooth.

Image caption He felt the attention of the national media over an incident in which police bugged a conversation with his constituent Babar Ahmad

Mr Khan wore his civil liberties credentials on his sleeve, challenging the government over ID cards and joining 48 other Labour rebels to vote against prime minister Tony Blair's plan to allow the detention of terror suspects without charge for up to 90 days.

He later claimed party chiefs had penalised him by preventing him from visiting Pakistan in the wake of an earthquake there and did not want to give him an office with a sofa.

But the rebellion was not altogether to his disadvantage.

Tony Blair was on his way out, and Mr Khan was able to position himself on the ascendant "soft left" of the Labour party alongside Ed Balls and Gordon Brown.

Sadiq Khan in his own words


"It was a tough school; it wasn't always a bed of roses. But you become street wise, you become savvy and you learn social skills - you learn about how to deal with people." - on his schooldays

"The way allegations of misconduct against police officers are investigated is flawed and inadequate." - as a human rights solicitor

"Although I'd won cases at the European Court of Human Rights, and I'd won cases in the House of Lords and the Court of Appeal, I still couldn't escape the fact that if you're part of the legislature and the executive, you can make legislation that improves the quality of life for literally millions of people." - on leaving law to become an MP

"Today Londoners and the rest of the UK have even more reason to be proud of Londoners - proud of the way heroic Londoners of all faiths, races and backgrounds, victims, survivors and passers-by, acted." - on the 7/7 attacks

"Most people feel nagged by their parents from time to time, but very rarely is it about the future of bus regulation." - on his father

"I sleep in my own bed. When I get home I put the rubbish out and get my girls up to go to school." - on staying grounded

"For the last eight years you've seen a red carpet mayor, somebody who is fantastic going to openings, great with a flute of champagne in his hand. I'd rather roll up my sleeves and fight for all Londoners." - on launching his mayoral bid

When Gordon Brown took over at Number 10, Mr Khan was given his first job in government as a whip and then as communities minister, a move that created disquiet among some other MPs in the capital who had been around for longer.

A post at the Department for Transport followed in 2009 and he became the first Muslim in the Cabinet. This was at a time when there were only four Muslim MPs and he was often confused for international development minister Shahid Malik.

He would go on to claim during the mayoral campaign that as transport minister he had "pushed" Crossrail through Parliament, but the Mayorwatch website has shown Mr Khan only took on responsibility for the project after the relevant bill had become law.

At the 2010 election, Mr Khan's own majority was squeezed to an uncomfortably small margin of just 2,524 votes and Labour was out of government for the first time in 13 years.

In the chaotic months of Labour soul-searching that followed, he again showed a canny ability to ally himself with what was seemingly a lost cause and turn it into success.

True to his Brownite colours, he was chosen as Ed Miliband's campaign manager and helped steer the less-favoured Miliband brother towards an unexpected leadership election victory.

Image copyright Getty Images Image caption Even when the chances of Ed Miliband winning the leadership looked remote, Mr Khan says he had "a feeling we'd done it"

He told the New Statesman afterwards that the night before the result, he told Miliband to "prepare for defeat".

"I learned this from (television series) Rumpole of the Bailey," he said. "Always tell your client he's going to lose because, if he loses, he's expecting it; if he wins, you're the fantastic lawyer who got the victory." However, he added: "I had a feeling we'd done it."

In that contest, as in the Labour mayoral nomination, Mr Khan's support for the trade union movement helped his campaign secure crucial votes.

He was rewarded with the post of shadow justice secretary - a role in which he did not get off to an auspicious start. His first major speech was badly received when he chose to highlight Labour's failings in government, and in then Justice Secretary Ken Clarke he faced an adversary with whom he admitted he struggled to find things to disagree about.

His other brief as shadow political reform minister did not provide much of a chance to shine either, as the coalition needed little help killing off its own proposals for Lords reform and his personal support for changes to the voting system was tempered by his view that the referendum on this - which saw the British public reject change - came at the wrong time.

When Mr Clarke was sacked and replaced with Chris Grayling, however, Mr Khan was able to take the fight to the despatch box more convincingly as a vocal opponent of reforms to legal aid and restrictions on books in prisons.

When the Conservatives later reversed several of Mr Grayling's flagship policies he described it as a "huge climbdown" that showed Labour had been right to resist them.

A surprise choice


Labour's disastrous showing in the 2015 election and the swift resignation of Ed Miliband - the man he had helped to the leadership - could have thrown Mr Khan off-course, but he found a new focus for his campaigning energy.

Just a week after the election he announced he would seek the Labour nomination for mayor. He had already been tipped as a possible contender for at least a year but, with typical shrewdness, he had steadfastly refused to be drawn on the subject in public while sounding out MPs and councillors in private to see if he had enough support.

Once he had confirmed his mayoral ambitions, his quest for the nomination - let alone an election win - still seemed like a long shot. Baroness Jowell, who had been MP for Dulwich and West Norwood for 23 years and held a number of senior ministerial positions under Labour, was widely seen as the natural choice.

That received wisdom was upended during the Labour leadership contest, when commentators predicted the influx of new members into the party over the summer of "Corbynmania" could play into Mr Khan's hands. He would take some flak over his role in Jeremy Corbyn's election as party leader, as he nominated him but later voted for Andy Burnham.

In the event, however, Mr Khan came out top as Labour choice of candidate not just with new members but in all three groups who could vote. It was a remarkable victory which, as the BBC's Norman Smith observed on the day, surprised him as much as it did his rivals.

The campaign that ensued was bloody. A former aide to long-time Labour deputy leader Harriet Harman, Ayesha Hazarika, reflected that when Zac Goldsmith - who had a reputation for being decent, attractive and independent-minded - was first picked as the Conservative candidate there was despondency in Labour ranks.

Image copyright Getty Images Image caption The two rivals pictured at an early stage of the race, which became increasingly fraught

Mr Khan said himself at one hustings that he thought his opponent had been a "nice guy until [Conservative strategist] Sir Lynton Crosby got his hands on him".

Whoever came up with the approach, Mr Goldsmith's campaign focused heavily on portraying Mr Khan as an associate of "extremists" - which in turn allowed Labour to attack the Conservatives for pursuing "divisive, dog-whistle" tactics.

Mr Khan took this to be an attempt to smear him by association because of his religion. The Conservatives insisted they were talking about his brand of left-wing politics - but Mr Goldsmith repeatedly said the Labour candidate had "given platform, oxygen and cover to extremists".

It became a source of such bitter tension between the two camps that when David Cameron stuck up for Mr Goldsmith's campaign at prime minister's questions he found the word "racist" flung back at him from the Labour benches.

While polls consistently suggested Mr Khan was ahead, Labour pessimists and Conservative optimists would remind themselves that Mr Goldsmith was likely to benefit from a Tory incumbency, from lower turnout among groups that tended to vote Labour, and from the under-reporting of Conservative support seen at the 2015 general election.

But those things were not enough - or proved not to be the case at all. Voter turnout was 45%, an increase of 7% on 2012, and it was clear quite early on in the day that Mr Khan had a healthy lead over his Conservative rival.

'Huge moment'


Another London Labour MP born to immigrant parents, David Lammy, told the BBC Mr Khan's election was a "huge moment" and predicted: "If we ever see a black or Asian prime minister in this country I have no doubt they will owe an enormous debt to Sadiq Khan."

Now, the boy from Tooting will have to prove himself all over again.

Love them or loathe them, the mayor's predecessors Boris Johnson and Ken Livingstone - the only other men to have done the job - are political heavyweights.

Even within his own party, Mr Khan has been accused of lacking vision. The perception of him as inexperienced also lingers on.

Image copyright PA Image caption Sadiq Khan may be a Liverpool fan but he joined Labour leader Jeremy Corbyn at an Arsenal match this season

One close Labour ally pointed out that "unlike Ken, he has held ministerial office - but more than that, he represents the future. Unlike Boris he'll be wholly focused on getting results for London - this isn't just a stepping stone for his career".

She predicted he would be anxious to make good on the ambitious promises he made during the campaign, particularly on addressing London's housing problems.

If that were not enough to be getting on with, he faces a dilemma over how to navigate between co-operating with the Conservative government and teaming up with Jeremy Corbyn's Labour Party in condemnation of the Tories.

In this respect he may hope to repeat the tactics of Boris Johnson, who managed to pull off alternately angering and assisting the government.

If he is to succeed he will need to display the same knack for steering his own course as he has shown as a schoolboy, a campaigning lawyer, a backbench MP and a shadow minister.

But those who voted for him will not forget his emphasis on his own disadvantaged background, his speeches about social justice and his promise to be a "mayor for all Londoners".

Sumber: http://www.bbc.com/news/uk-england-london-36140479 diakses pada 15 Mei 2016





[1] Berdasarkan penelitian oleh Open Sicety Institute (OSI), pada 2004, sekitar delapan dari sepuluh warga Muslim Inggris mengaku merasakan kontradiksi antara menjadi masyarakat yang baik atau menjalankan agamanya, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/14/09/01/nb6mku-ini-hasil-survei-soal-islamophobia-di-inggris diakses pada 12 Mei 2016 pukul 04:50 wib

[2] Kerajaan Inggris sendiri merupakan bangsa yang dicatat dalam sejarah sebagai bangsa yang mempunya nenek moyang yang agresif, pengarung samudera dan penakluk bangsa-bangsa lain yang lebih terbelakang. Inu Kencana Syayafiie dn Andi Azikin, 2007. Perbandingan Pemerintahan. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 36.

[3] Multikulturalisme di Indonesia sebenarnya telah digalakkan di Indonesia sejak masa Presiden Megawati Soekarnoputri, yang menghimbau Departemen Agama agar mengembangkan pola pendidikan agama yang berwawasan multikultural (oktober, 2001). Zubaedi (2004) Telaah Konsep Multikulturalisme dan Implementasinya dalam Dunia Pendidikan. Jurnal Hermeneia\Vol-3-No-1-2004.

[4] Inu Kencana Syafiie dan Andi Azikin, 2011. Perbandingan Pemerintahan. Bandung: Refika Aditama.

[5] Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews (editor), 2011. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hlm. 172

[6] Ibid. Hlm. 176.

[7] Loc.cit

[8] Secara sederhana, dalam sistem hukum Anglo Saxon  lebih bertumpu pada putusan pengadilan daripada produk legislasi. Hal ini tentu sangat relevan dengan penjelasan sebelumnya jika parlemen Inggris sebenarnya tidak melakukan fungsi yang efektif, khususnya sebagai dalam bidang legislasi

[9] Ibid. Hlm. 182

[10] Hal ini dimungkinkan karena peranan living law (hukum adat, hukum kebiasaan, atau hukum yang tumbuh, diakui, dan dilaksanakan oleh masyarakat) lebih dominan. Berbeda dengan negara-negara yang memiliki konstitusi tertulis, cenderung represif karena prosedur dan teknis peradilan yang rigid.

[11] Mohtar Mas’oed, op.cit. Hlm. 60

[12] Mohtar Mas’oed, ibid. Hlm 61

[13] Pola demikian hampir identik dengan konsep pemerintahan daerah di Indonesia, dimana Sekretaris Daerah, merupakan pegawai negeri sipil, sedangkan kepala daerah merupakan pejabat hasil pilihan masyarakat, sehingga terjadi perbedaan sumber kekuasaan yang melegitimasi jabatannya.

[14] Loc.cit

[15] Perilaku Pemilih pada Pemilu, dimuat dalam Lampung Post 25 Maret 2014.  http://lampost.co/berita/perilaku-pemilih-pada-pemilu

[16] Loc.cit

[17] Loc.cit

[18] Loc.cit

[19] Loc.cit

[20] Faisal Ismail, 1999. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila. Yogyakarta: Tirta Wacana. Hlm 69.


[22] Selengkapnya: http://lampost.co/berita/-politik-gentong-babi- (17 April 2015) diakses pada 24 April 2015

[23] Kendatipun rival politiknya,  Zac Goldsmith bukan merupakan petahana/incumben, namun tetap tidak menutup kemungkinan adanya dukungan dari balik kekuasaan politis pemerintah masih berkuasa.



1 Comment:

Post a Comment