ANALISIS
KEMENANGAN SADIQ KHAN DALAM KONSTESTASI PEMILIHAN WALIKOTA LONDON
MAKALAH
Oleh:
Firginiya
Firdaus
NPM.
1346021010
![](file:///C:\Users\USER\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.jpg)
JURUSAN
ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
LAMPUNG
BANDAR
LAMPUNG
2016
ABSTRAK
Dalam
setiap kontestasi politik, terdapat faktor-faktor yang akan mempengaruhi
kemenangan para kontestan. Faktor-faktor religiusitas dan etnisitas hari ini
telah menjadi faktor yang sangat penting untuk mendapatkan simpati masyarakat
selaku pemilih. Perilaku demikian terjadi pada pemilih yang lebih mengedepankan
aspek sosiologis daripada rasionalitas.
Namun
hal demikian dipatahkan dalam kontestasi politik pemilihan walikota london,
Inggris. Sadiq Khan, kontestan yang mewakili partai buruh, dengan latar
belakang agama Islam dan kultur yang sangat berbeda dengan masyarakat London
pada umumnya, tampil menjadi pemenang kontestasi. Oleh karenanya, perlu dikaji,
faktor-faktor apa saja yang mendukung kemenangan Sadiq Khan, mengingat tingkat
Islamophobia di London cukup tinggi.
Makalah
ini ditulis dengan menggunakan metode studi pustaka, berdasarkan referensi dari
literatur, jurnal, dan pemberitaan pada media nasional dan internasional. Pada
beberapa bagian, penulis juga membandingkan keadaan di Inggris dengan yang
terjadi di Indonesia.
Kata
Kunci: Konstestasi Politik, Walikota London, Sadiq Khan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Dalam
kontestasi politik, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap latar belakang kontestan
menjadi pertimbangan yang sangat penting. Boleh jadi, perbedaan latar belakang
dan cara pandang dari mayoritas masyarakat yang ada, membuat kontestan kalah,
lebih jauh lagi berpotensi membuat yang bersangkutan didikreditkan. Hal
tersebut sangat mungkin untuk terjadi terutama dalam konstestasi yang diikuti
oleh 2 (dua) kontestan.
Perspektif
minoritas, sekalipun sejatinya benar dan berdampak positif apabila diwujudkan
dalam kebijakan –yang harus melalui kekuasaan, belum tentu dapat diterima tanpa
metode penyampaian yang baik. Terlebih apabila perspektif minoritas tersebut
berkaitan dengan SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan).
Namun
demikian, tidak menuntut kemungkinan perspektif minoritas dapat diterima oleh
masyarakat. Untuk dapat diterima, tentu ada beberapa kriteria yang dilakukan
dan dicapai oleh kontestan. Masalah SARA, sebagaimana disinggung diatas, tentu
dapat diatasi apabila masyarakat yang bersangkutan sudah mampu menerima
perbedaan dan tidak mendiskreditkan minoritas (multikultural).
Multikulturalisme
tersebut dapat menjadi tolok ukur, seberapa dewasa masyarakat dalam menjalankan
demokrasi. Dapat ditarik konklusi sederhana, semakin multikulturalis suatu
masyarakat, sama dengan semakin maju –dan dewasa dalam berdemokrasi. Hal
demikian seyogyanya sangat dibutuhkan dalam proses politik, baik dalam
kontestasi (pra terpilih) maupun perumusan regulasi (pasca terpilih), sehingga
yang menjadi orientasi adalah efektifitas dari suatu kebijakan
Termasuk
pada kontestasi walikota London, Ingrris yang digelar Mei 2016, perlahan
menunjukkan bahwa beberapa negara –dengan parameter kota-kota besarnya, telah
terbuka dan menerima perspektif minoritas untuk ikut serta dalam kontestasi
politik. Hal ini dicapai oleh Sadiq Khan, calon yang unggul dan pada akhirnya
menang untuk menduduki jabatan Walikota London. Hal ini menjadi catatan
sejarah, bahwa Sadiq Khan, menjadi Walikota London pertama yang beragama Islam.
Hal
tersebut menjadi bahasan menarik, mengingat mindset
dunia terhadap pemikiran-pemikiran Islam, sebagai paham yang radikalis,
termasuk London[1].
Artinya, ada sesuatu yang telah terjadi pada masyarakat London hari ini, yang menjadi
multikulturalis. Selain dari faktor masyarakatnya, juga sangat mungkin ada
cara, taktik, atau sesuatu yang ditampilkan oleh Sadiq Khan, sehingga ia bisa
merebut simpati masyarakat untuk memilihnya.
Secara
historis, Inggris memiliki peradaban yang cukup maju[2],
Sehingga Inggris menjadi salah satu negara yang memiliki karakteristik dan
sistem ketatanegaraan tersendiri. Hal ini memungkinkan pengaruhnya pada konfigurasi
politik yang berbeda dengan negara-negara lain. Hal ini dapat dijadikan sebagai
patokan untuk membandingkan sistem pemilihan walikota di London dengan
pemilihan walikota –sebagai salah satu wujud kepala daerah di Indonesia. Apakah
kemudian budaya multikulturalis di London dapat juga digunakan dalam
konstestasi politik di Indonesia, dan sejauh mana efektivitasnya?[3]
Pertanyaan tesebut dapat dijawab dengan melakukan perbandingan sistem pemilihan
walikota antara kedua sistem pemilihan wali kotanya, baik di Inggris maupun di
Indonesia.
Selayaknya
konstestasi pada umumnya, tentu terdapat faktor-faktor yang berpengaruh pada
kemenangan Sadiq Khan –termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi kekalahan
lawannya, Gold Smith. Sedikit atau banyak, sikap multikulturalis sebagaimana
telah disinggung diatas juga akan mempengaruhi perilaku pemilih pada tiap-tiap
konstestasi. Tidak juga dapat dinafikkan bahwa tetap ada kemungkinan black campaign atau bahkan negative campaign dalam proses
kampanyenya. Oleh karenanya, makalah ini ditulis untuk dapat menguraikan
beberapa rumusan masalah tersebut.
1.2.
RUMUSAN MASALAH
Rumusan
masalah dalam makalah ini adalah:
1. Faktor
apa saja yang mempengaruhi kemenangan Sadiq Khan dalam konstestasi pemilihan
walikota London?
2. Bagaimana perilaku pemilih dalam konstestasi pemilihan
Walikota London?
3. Model
campaign seperti apa yang dilakukan
oleh para kontestan pemilihan Walikota London?
1.3. TUJUAN
2. Mengetahui
faktor apa saja yang mempengaruhi kemenangan Sadiq Khan dalam konstestasi
pemilihan Walikota London .
3. Mengetahui
perilaku pemilih dalam kontestasi pemilihan Walikota London.
4. Mengetahui
model campaign yang digunakan para
konstestan pemilihan Walikota London.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. SISTEM KETATANEGARAAN INGGRIS
Inggris
adalah negara yang merupakan bagian dari Britania Raya. Letak kepulauan Inggris
yang terisolasi dari benua Eropa menyebabkan banyak perbedaan sejarah dalam
berbagai sistem ketatanegaraan antara Inggris dan negara-negara lain di Eropa. Termasuk
dengan negara tetangganya, Irlandia, Inggris memiliki sistem yang berbeda,
khususnya menyangkut pemerintahan daerahnya.
Sistem
pemerintahan yang berlaku di Inggris adalah sistem parlementer, sehingga para
menteri bertanggungjawab pada parlemen. Meskipun demikian, meskipun para
menteri yang dipimpin oleh perdana menteri dapat dijatuhkan oleh parlemen,
bukan berarti kepala negara yang dipegang oleh raja atau ratu dapat pula
dijatuhkan. Sehingga seberapapun modern sistem yang diberlakukan di Inggris,
pada hakikatnya negara ini tetap menganut sistem monarkhi tradisional, yang
tidak dapat menjatuhkan raja atau ratu sebagai identitas persatuan bangsa.[4]
Parlemen
Inggris ditinjau secara seremonial/keupacaraannya memang nampak prestige, namun dari bidang kekuasaannya
sebenarnya tidak berlaku efisien. Ini dikarenakan peranannya untuk merumuskan
kebijakan sangat limitatif. Berbeda dengan Indonesia, dimana DPR memiliki
fungsi legislasi –sebagai fungsi utama untuk membuat kebijakan tertinggi
setelah konstitusi berupa undang-undang, budgeting, serta pengawasan terhadap
pemerintah.
Inggris
menjadi salah satu negara di Eropa yang memiliki keunikan dalam sejarah
politiknya. Selama tiga abad, kekerasan dan revolusi merupakan gambaran umum
dalam kehidupan politik negara-negara besar Eropa pada abad ke-20; seperti
Perancis, Jerman, Italia, Rusia, Polandia, dan Sapnyol. Namun berbeda dengan
orang-orang Inggris, berhasil menyelesaikan perbedaan-perbedaan politik tanpa
menggunakan kekerasan.[5]
Hal ini ditambah dengan banyaknya bangsa di dunia yang mendapat pengaruh
langsung dari sistem politik Inggris.
Negeri
Inggris tidak mempunyai konstitusi tertulis. Tidak adanya konstitusi tertulis
ini dianggap sebagai suatu keuntungan besar oleh banyak penulis tentang politik
di Inggris Raya. Hal ini dikarenakan konstitusi yang tidak berbentuk dokumen
tertulis, akan memudahkan pemerintah untuk menyesuaikan tindakan-tindakannya
dan lembaga-lembaganya terhadap perubahan keadaan-keadaan dan tuntutan-tuntutan
tanpa mengalami kesulitan dalam prosedurnya.[6]
Sedangkan
dalam suatu konstitusi tertulis, hal tersebut sangat sulit dilakukan. Sangat
mungkin terjadi perdebatan yang bersifat politis tentang tindakan-tindakan yang
diambil pemerintah. Perdebatan yang terjadi pada akhirnya akan dikembalikan
pada prinsip-prinsip konstitusionalitas. Dan mayoritas, perdebatan akan selesai
–atau dimenangkan oleh kekuatan politik terkuat.[7]
Sistem
hukum yang dianut oleh negara Inggris adalah Anglo Saxon[8]. Adapun
mengenai hukum yang berlaku, hampir sama seperti kewenangan parlemennya,
peranannya tidak terlalu dominan[9].
Justru sebagai negara yang tidak memiliki konstitusi tidak tertulis, sangat
sedikit rakyat yang mengeluhkan tentang penindasan kebebasan sipil atau tidak
adanya perlindungan hukum.[10]
Karakteristik
pemerintahan di daerah-daerah Inggris juga memiliki ciri-ciri khas, misalnya
komite-komite yang mendapat porsi kerja lebih besar, kecilnya peranan
eksekutif, dan tidak adanya sistem gubernur provinsi (Norton, 1994; Byrne 1990;
Curtis, 1993 dalam Sarundajang, 2011). Sampai dengan abad ke-19, pemerintahan
daerah di Inggris mayoritas dijalankan oleh dewan dan hakim pengadilan yang
ditunjuk. Kekuasaan dewan ditekankan pada kenyataan bahwa otoritas bagi kegiatan
daerah sepenuhnya bertumpu pada dewan (council),
sehingga kemudian dikenal county council,
borough council, dan district council.[11]
Dewan
banyak menggunakan komite, sehingga pemerintahan daerah Inggris Raya adalah
“pemerintahan oleh, dari, dan melalui komite” (Wheare, 1961:195). Diketahui
bahwa komite di Inggris bukan hanya mempersiapkan keputusan bagi dewan, tetapi
juga melakukan pengawasan terhadap program yang telah disetujui. Fungsi
tersebut hampir sama dengan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD terhadap
pemerintah daerah di Indonesia.
Selain
itu, peranan eksekutif pada pemerintahan daerah di Inggris sangatlah kecil.
Pemerintahan daerah Inggris Raya tidak memiliki badan pengurus (board) dan pemimpin eksekutif yang
mengkoordinasikan kegiatan berbagai komite secara efektif. Kepala departemen
bekerja secara individu langsung dengan komite dan tidak bertanggungjawab
kepada satupun pemimpin eksekutif. Sekretaris dan juga bendahara, berusaha
berkoordinasi terkait kegiatan daerah, dan tidak memiliki otoritas untuk
memberi petunjuk secara menyeluruh.[12]
Di
negara-negara Anglo Saxon lainnya, walikota pada umumnya mempunya peranan lebih
kuat. Dalam hal ini, terdapat indikasi bahwa pemerintah daerah di Inggris mulai
memberi peranan yang lebih besar kepada sekretaris dari sekedar pegawai biasa[13],
menjadi seorang pimpinan dalam suatu hierarki[14],
disamping rekomendasi pembentukan badan pengurus eksekutif (Bryne, 1990).
2.2. PERILAKU PEMILIH
Studi tentang perilaku memilih merupakan studi mengenai alasan dan
faktor yang menyebabkan
seseorang memilih suatu partai atau kandidat yang ikut dalam kontestasi politik. Perilaku memilih baik
sebagai konstituen maupun masyarakat umum di sini
dipahami sebagai bagian dari konsep partisipasi politik rakyat dalam sistem perpolitikan
yang cenderung demokratis. Menurut Firmanzah (Efriza,2012:480)
secara garis besar, pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama
para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan
kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan.
Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat yang merasa diwakili
oleh suatu idiologi tertentu yang kemudian dimanifestasikan dalam institusi
politik seperti parpol.
Secara
teoritis, perilaku pemilih dapat diurai dalam tiga pendekatan utama, masing-masing
pendekatan sosiologi, psikologi, dan pilihan rasional. Pendekatan sosiologi,
pendekatan ini lahir dari buah penelitian Sosiolog, Paul F. Lazersfeld dan rekan
sekerjanya Bernard Berelson dan Hazel Gaudet dari Columbia University. Karenanya
model ini juga disebut Mazhab Columbia. (Dieter Roth, 2008).
Apabila dikaji lebih
jauh, ada beberapa perilaku pemilih dalam menyikapi pemilu. Pertama, pemilih
yang mengedepankan rasionalitas nilai. Max Weber mengemukakan rasionalitas
nilai ialah pengambilan keputusan berdasarkan nilai yang dipegang teguh. Dalam
kaitannya dengan pemilu, rasionalitas nilai ialah bagaimana pemilih menjatuhkan
pilihan pada calon yang diyakini memiliki kesamaan nilai dengan dirinya, baik
itu agama, ras, etnis, dan lain-lain.[15]
Pertama,
pemilih yang mengedepankan rasionalitas nilai. Max Weber mengemukakan
rasionalitas nilai ialah pengambilan keputusan berdasarkan nilai yang dipegang
teguh. Dalam kaitannya dengan pemilu, rasionalitas nilai ialah bagaimana
pemilih menjatuhkan pilihan pada calon yang diyakini memiliki kesamaan nilai
dengan dirinya, baik itu agama, ras, etnis, dan lain-lain. Pemilih dengan
rasionalitas nilai jumlahnya tidaklah sedikit di Indonesia. Di banyak pemilihan
kepala daerah (pilkada), nilai-nilai primordial sering menguat dan dijadikan
sebagai acuan pemilih dalam menentukan pilihan[16].
Faktor suku dan agama lebih dominan ketimbang kapasitas, kredibilitas, dan
integritas dari sang kandidat.
Kedua,
pemilih dengan rasionalitas tujuan. Menurut Weber, rasionalitas tujuan adalah
pola pikir yang bertumpu pada apa yang akan diperoleh. Pemilih memutuskan
pilihannya pada calon yang dirasa dapat memenuhi keinginan dan kebutuhannya,
meski hanya berupa sedikit keuntungan yang sifatnya sementara[17]. Perilaku pemilih yang demikian menilai pemilu
bukan lagi sarana untuk mencurahkan harapan kepada calon kontestan. Pemilih
menganggap program dan janji yang ditawarkan caleg bukan hal yang menarik dan
penting untuk diketahui.
Ketiga,
pemilih yang kritis. Pemilih kritis kecenderungannya ialah memiliki perhatian
besar pada pada program kerja dan kebijakan parpol atau kandidat. Firmanzah
(2008) memaparkan bahwa pemilih kritis akan menjadikan nilai-nilai ideologi
sebagai pijakan untuk menentukan parpol mana yang akan dipilih, kemudian
mengkritisi kebijakan atau program kerja yang akan atau yang telah dilakukan
oleh parpol atau kandidat peserta pemilu[18].
Keempat,
pemilih skeptis. Pemilih skeptis tidak memiliki orientasi dengan ideologi,
nilai, program kerja, dan kontestan tertentu. Mereka adalah kelompok masyarakat
yang skeptis dan tidak yakin terhadap pemilu. Dalam pandangannya, parpol yang
memenangkan pemilu tidak akan membawa dampak perubahan yang berarti[19].
Kalaupun berpartisipasi dalam pemilu, pemilih skeptis hanya menganggap pemilu
sebagai ritual lima tahunan. Selebihnya, merupakan perilaku yang abai sama
sekali terhadap kontestasi politik, atau di Indonesia populer dengan istilah
golongan putih.
2.3.
KAMPANYE DALAM PEMILIHAN UMUM
Terdapat banyak
definisi mengenai kampanye yang dikemukakan oleh para ilmuwan komunikasi, namun
berikut ini adalah beberapa definisi yang populer. Snyder (2002) dalam Venus (2004),
mendefinisikan bahwa kampanye komunikasi merupakan aktivitas komunikasi yang
terorganisasi, secara langsung ditujukan kepada masyarakat tertentu, pada
periode waktu yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan tertentu. Pfau dan
Parrot (1993). dalam Venus (2004), mendefinisikan kampanye sebagai kegiatan
yang dilakukan secara sadar untuk menunjang dan meningkatkan proses pelaksanaan
yang terencana pada periode tertentu yang bertujuan mempengaruhi masyarakat
sasaran tertentu.
Rogers dan Storey
(1987) dalam Venus (2004), mendefiniskan kampanye sebagai serangkaian kegiatan komunikasi yang
terorganisasi dengan tujuan untuk menciptakan dampak tertentu terhadap sebagian
besar masyarakat sasaran secara berkelanjutan dalam periode waktu tertentu.
Berdasarkan beberapa
definisi di atas, Venus (2004) mengidentifikasi bahwa aktivitas kampanye setidaknya harus mengandung
empat hal yakni,
(1) ditujukan
untuk menciptakan efek atau dampak tertentu;
(2) ditujukan
kepada jumlah masyarakat sasaran yang besar;
(3) dipusatkan
dalam kurun waktu tertentu, dan;
(4) dilakukan
melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisasi.
Kampanye
politik adalah bentuk komunikasi politik yang dilakukan seseorang atau sekelompok
orang atau organisasi politik dalam waktu tertentu untuk memperoleh dukungan
politik dari masyarakat (Arifin, 2003).
Salah satu jenis
kampanye politik adalah kampanye massa, yaitu kampanye politik yang ditujukan kepada massa (orang
banyak), baik melalui hubungan tatap
muka maupun dengan menggunakan berbagai media, seperti surat kabar, radio,
televisi, film, spanduk, baligo, poster, folder dan selebaran serta medium
interaktif melalui komputer (internet). Penyampaian pesan politik melalui media
massa merupakan bentuk kampanye yang handal dalam hal menjangkau masyarakat
luas. Kampanye politik saat ini sudah mengadopsi prinsip-prinsip pemasaran dan
pembentukan citra. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena sistematika
pemilihan kepala kampung adalah langsung. Kegiatan untuk membangun citra atau
image merupakan bagian penting dalam
kampanye politik untuk memperoleh dukungan. Terkait dengan komunikasi dalam
kampanye politik, terdapat beberapa aktivitas komunikasi yang dapat
diidentifikasi.
BAB III
PEMBAHASAN
Kontestasi
politik Walikota London telah dihelat pada 6 Mei 2016 lalu. Berdasarkan
rekapitulasinya, Sadiq Khan tampil sebagai pemenang kontestasi. Kemenangan
tersebut merupakan hal yang baru, mengingat Sadiq Khan merupakan kontestan
dengan latar belakang kultur dan agama yang berbeda dengan mayoritas masyarakat
London. Ia merupakan pemeluk agama Islam, dengan orang tua berasal dari
pakistan dan bekerja sebagai supir bus dan penjahit.
Isu-isu etnisitas
dan religiusitas kini sangat berpengaruh terhadap paradigma masyarakat sebagai
pemilih. Hal ini akan sangat nampak terutama apabila konstestan beragama Islam
–yang terlanjur dipersamakan dengan ekstrimis, di negara-negara yang
mayoritasnya non-muslim. Bila diperbandingkan dengan keadaan yang pernah
terjadi di Indonesia, sekalipun mayoritas penduduknya menganut agama Islam,
dalam kenyataannya tetap saja mengalami persuasi politik seperti yang pernah
terjadi pada tahun 1945 dan 1950-an di Era Soekarno (1945-1966), berbagai isu
ideologis mengenai Pancasila pada masa Soeharto.[20]
Keadaan demikian menekankan bahwa kehidupan beragama, dimanapun wilayahnya,
akan tetap terinjeksi oleh keadaan-keadaan politik –yang mungkin bahkan
dianggap problematika suatu bangsa.
Jalan
keluar untuk keluar dari stigma semavam ini dan memenangkan kontestasi adalah
dikembalikan pada perilaku pemilih pada masyarakat yang bersangkutan. Apabila
masyarakat sudah dapat memilih secara rasional, maka akan ditemui cara untuk
menang, yaitu dengan mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan secara matang dan
proporsional. Bila cara demikian tidak dilakukan, maka alternatif lain yang
akan muncul adalah black campaign atau
bahkan negative campaign, yang
seyogyanya tidak terjadi pada masyarakat yang sadar dan dewasa dalam
berdemokrasi.
Hal-hal
yang kemudian dapat disimpulkan sebagai faktor-faktor kemenangan Sadiq Khan,
yaitu: perilaku pemilih di Kota London yang sudah menggunakan rasionalitas dan
mengara pada multikulturalis, juga kesederhanaan kampanye yang dapat diterima
dan dipahami oleh masyarakat London, serta dukungan partai dan pengalaman
politis yang sebelumnya pernah dijalani Sadiq Khan.
Asumsi
bahwa perilaku pemilih Kota London sebagai pemilih rasional, berdasar pada
jumlah negara di Eropa (sebagai sampel negara-negara dimana Islam adalah agama
minoritas) dengan pemimpin dan pemimpin daerah dengan level ibukota seorang
Muslim sangat minim. Di Inggris, pemimpin yang seorang Muslim baru pertama kali
ditorehkan oleh Sadiq Khan, dan di Eropa, ini adalah kali kedua, setelah
sebelumnya Ahmad Abutalib berhasil Walikota Rooterdam, Belanda.[21]
Kemenangan
atas dasar rasionalitas pemilih mengindikasikan bahwa masyarakat London telah
ada dalam dua fase, yaitu multikulturalis dan dewasa dalam berdemokrasi. Sifat rasionalitas
multikulturalis ini akan mendukung pembangunan, sebab masyarakat lebih mengedepankan
visi dan arah yang ditentukan oleh pemimpinnya, bukan lagi pada nilai
transaksional yang mampu diberikan oleh kontestan, bukan juga pada strategi pig barrel politics,[22]
yang menjadi langkah petahana untuk mempertahankan kekuasaannya[23].
Dengan
adanya kedewasaan dalam berdemokrasi, masyarakat lebih dapat menilai kontestan
mana yang lebih berbobot. Sekalipun dalam kampanye yang telah berlalu,
terindikasi black campaign oleh Zac
Goldsmith yang membawa isu-isu religiusitas dan etnisitas[24].
Justru dengan kedewasaan tersebut, masyarakat akan jenuh dan jengah terhadap black campaign yang dilakukan, sehingga
hal tersebut malah menurunkan elektabilitas Zac Goldsmith.
Sikap
multikulturaslis juga selanjutnya akan membuka cara pandang masyarakat terhadap
visi yang disampaikan oleh para kontestan. Hal yang sering terjadi di Indonesia
misalnya, selain banyak memberikan nilai trankaksional kepada masyarakat dengan
ekonomi menengah kebawah (semisal memberikan sembako, dan kaos), para peserta pemilihan juga mengincar para
pemilih pemula (semisal mahasiswa tingkat awal atau para siswa yang umurnya
sudah cukup untuk mejadi pemilih) cengan produk-produk yang dibalut sebagai
apresiasi, juga berau semi akademik. Para calon berbondong-bondong mengadakan event yang mengatasnamakan pendidikan,
memberikan penghargaan, juga berlomba-lomba mencetak buku, padahal substansinya
sangat jauh dari bobot minimal, seperti hanya memampang foto calon yang
bersangkutan, atau riwayat organisasinya sehingga menarik perhatian pemilih
dengan latar belakang organisatoris.
Pada
masyarakat yang telah lebih dewasa dalam berdemokrasi, produk-produk demikian
tetap dihargai, namun sama sekali bukan menjadi alasan untuk memilih kontestan.
Sebaliknya, produk-produk tersebut akan berpotensi menurunkan elektabilitas
kontestan, terlebih apabila produk tersebut tidak memiliki bobot yang terlalu
berarti. Sikap yang akan timbul dalam keadaan seperti ini antara lain menolak
secara tegas produk-produk yang disodorkan, atau menerima sebanyak-banyaknya
produk dari berbagai calon, dengan tetap mempunyai satu pilihan yang menurutnya
paling cocok.
Masyarakat
mulai sadar, bahwa visi yang sesungguhnya bukan visi yang dibalut dengan
istilah-istilah yang terlalu tinggi, karena menjalankan tugas pemerintahan
berbeda dengan menjalankan tugas penelitian atau pendidikan tinggi. Pemerintah
bukan sebuah lembaga penelitian politik, sehingga harus menggunakan bahasa yang
cenderung lebih simpel dan dapat dimengerti oleh semua kalangan –bukan hanya
para pengamat, ahli politik, penegak hukum, dan akademisi. Hal seperti inilah
yang telah dilakukan oleh Sadiq Khan, menuliskan visinya dengan kata-kata
sederhana. Ia tidak menonjolkan bahwa dirinya seorang akademisi atau politisi
ulung, sehingga visinya lebih menonjolkan sisi humanis: “Cerita saya adalah
sejarah London. Ibu kota London telah memberikan kesempatan kepada saya untuk
masuk dan menjalankan kabinet. Visi saya untuk London adalah sederhana yaitu
membuat semua warga London memiliki kesempatan yang sama sebagaimana diberikan
warga London kepada saya. Saya akan mewujudkan rumah yang terjangkau, pekerjaan
dengan gaji layak, sistem transportasi terjangkau dan modern, serta lingkungan
yang aman, bersih, dan sehat.[25]
Dukungan
partai juga tidak dapat dinafikkan dalam konestasi politik. Partai sebagai
sarana mobilitas nyata merupakan modal utama. Sadiq Khan, yang mewakili partai
buruh kali inipun nyata telah menang dari rivalnya, yang berasal dari partai
konservatif.
Selain dari
beberapa hal diatas, track record Sadiq
Khan juga menjadi modal yang
membuatnya tidak diremehkan. Pengalamannya dibidang pemerintahan, yang pada
tahun 2008 pernah ditunjuk oleh Perdana Menteri Gordon Brown sebagai Menteri Komunitas,
dan selanjutnya menjadi Menteri Transportasi. Sebelumnya, ia juga pernah
menjadi pengacara yang dengan bidang hak asasi manusia. Hal ini juga menjadi
sala satu faktor kemenangannya, karena dengan rekam jejak yang jelas,
masyarakat tidak menjadi ragu dan menganggapnya sebagai salah satu tokoh yang
memiliki kompetensi.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Ada beberapa faktor yang mendukung kemenangan Sadiq Khan dalam
kontestasi pemilihan Walikota London, yakni:
1.
Sikap multikulturalis yang
membuat masyarakat London menjadi lebih terbuka dan dewasa dalam berdemokrasi;
2.
Black campaign yang
dilakukan oleh rivalnya, Zac Goldsmits, dimana black campaign pada masyarakat yang telah dewasa berdemokrasi
justru tidak dapat diterima dan menurunkan elektabilitas;
3.
Dukungan partai buruh yang
sejalan dengan visi Sadiq Khan; dan
4.
Rekam jejak Sadiq Khan yang
membuatnya memiliki kompetensi unggul.
Poin yang kemudian juga menjadi penting adalah, penguatan politik
Islam di beberapa negara non muslim. Lepas dari menang artau kalah, Shadiq Khan
telah tampil dimuka publik London dan dapat diterima meskipun ia merupakan
golongan minoritas
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
·
Ismail,
Faisal, 1999. Ideologi Hegemoni dan
Otoritas Agama Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila. Yogyakarta:
Tirta Wacana.
·
Mas’oed,
Mohtar dan Colin MacAndrews (editor), 2011. Perbandingan
Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
·
Syafiie,
Inu Kencana dan Andi Azikin, 2007. Perbandingan
Pemerintahan. Bandung: Refika Aditama.
Jurnal
·
Zubaedi (2004) Telaah Konsep Multikulturalisme dan Implementasinya dalam
Dunia Pendidikan. Jurnal Hermeneia\Vol-3-No-1-2004.
Halaman
Internet
·
http://news.okezone.com/read/2016/05/09/18/1383848/strategi-kampanye-sadiq-khan-raih-kursi-walkot-london diakses pada 15 Mei 2016
·
http://news.okezone.com/read/2016/05/09/18/1383848/strategi-kampanye-sadiq-khan-raih-kursi-walkot-london diakses pada 15 Mei 2016
·
http://republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/05/07/o6rwc0361-sadiq-khan-jadi-wali-kota-london-muslim-pertama diakses pada 14 Mei 2016
·
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/14/09/01/nb6mku-ini-hasil-survei-soal-islamophobia-di-inggris diakses pada 12 Mei 2016
LAMPIRAN
Ahad, 08 Mei
2016, 00:10 WIB
Mengenal Lebih Dekat Sadiq Khan, Wali Kota London
Muslim Pertama
Rep: Melisa Riska
Putri/ Red: Angga Indrawan
AP Photo/Kirsty
Wigglesworth
Sadiq Khan, Wali Kota
Muslim pertama London.
REPUBLIKA.CO.ID, Nama
Sadiq Khan mendadak jadi perbincangan dunia internasional setelah memenangkan
pemilihan umum di London. Putra seorang sopir bus itu menjadi wali kota pertama
Muslim London, Sabtu (7/5).
Kemenangan Khan
membuat dia menjadi Muslim pertama yang menjabat sebagai wali kota di Barat
negara tersebut. Kemenangan ini dipastikan lepas tengah malam di dalam bangunan
kaca London setelah hasil pemilu untuk Partai Buruh di negara itu dikumpulkan.
Meski mendapat
pukulan telak di Skotlandia, di mana ia berada di posisi ketiga di
belakang Partai Nasional Skotlandia dan Konservatif Inggris yang berkuasa.
Partai Buruh melakukan lebih baik dari yang diharapkan di Inggris,
menyelamatkan pemimpin berhaluan kiri tersebut.
Kemenangan besar dengan
menyabet jabatan wali kota Inggris didapat pria berusia 45 tahun tersebut
setelah melawan Konservatif Zac Goldsmith (41 tahun), putra seorang pemodal
miliarder. Khan meraup 44 persen suara sementara Goldsmith hanya 35
persen.
Marjin kemenangan
Khan 13,6 persen atas Goldsmith ini adalah yang terluas di pemilihan wali kota
London dalam 16 tahun. Hal ini menunjukkan kampanye gelap yang menuduh Khan
memiliki hubungan dengan ekstremis dan tuduhan anti-semitisme dalam jajaran
Buruh telah gagal mencegah para pemilih memberikan suaranya untuk Khan.
Sebelumnya, kampanye
Goldsmith ditandai dengan tuduhan kampanye "kotor" dan
"negatif", termasuk dari dalam partainya sendiri karena penekanannya
pada hubungan Khan dengan dugaan ekstremis. Kritikus menuduh Goldsmith menyerang
Khan atas dasar keyakinan Islam dan label rasis dalam kampanyenya. Respons
Sadiq Khan dan Buruh sangat marah. Mereka mengatakan bahwa Konservatif sedang
bermain halus dan bahkan tidak begitu halus dengan menyebar Islamofobia dan
kampanye rasis.
"Pemilu ini
bukan tanpa kontroversi dan saya sangat bangga bahwa London hari ini memilih
harapan di atas ketakutan dan persatuan di atas perpecahan," ujar Khan
dalam pidato singkatnya.
Dalam kesempatan
tersebut, Khan menegaskan, takut tidak membuat warga lebih aman. "Itu
hanya membuat kita lemah dan ketakutan politik sama sekali tidak diterima di
kota kami," lanjut dia.
Ucapan selamat untuk
Khan membanjiri jagat media sosial. Sebagian besar mengucapkan selamat kepada
Khan dan menyatakan bangga terhadap keberagaman Inggris. Ucapan dari jauh
seperti New York juga diterima Khan. "(Saya) mengirim ucapan selamat
kepada walikota London baru dan rekan kerja yang menganjurkan perumahan
terjangkau @SadiqKhan," tulis wali kota Bill de Blasio di Twitter.
Anggota parlemen
Partai Buruh kini menggantikan Konservatif Boris Johnson yang berkuasa atas 8,6
juta warga selama delapan tahun. Johnson merupakan seorang juru kampanye utama
bagi Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa dan dipandang sebagai pesaing David
Cameron dalam pemimpin partai dan perdana menteri.
Anak Seorang Imigran
Sadiq Khan lahir di Rumah Sakit St George di Tooting,
London Selatan. Putra kelima dari delapan bersaudara ini hidup sebagai putra
imigran dari Pakistan yang menetap di London pada 1960.
Lahir di London dari keluarga Pakistan-Inggrs kelas
pekerja, Khan banyak menghabiskan waktu untuk bekerja memenuhi kehidupan. Khan
muda bersekolah, mempelajari ilmu pengetahuan alam dan matematikan dengan
harapan memenuhi kualifikasi sebagai dokter gigi.
Namun, seorang guru menganjurkan Khan untuk belajar hukum
karena kepribadiannya yang argumentatif. Khan memperoleh gelar sarjana hukum di
Universitas London Utara. Ia kemudian menjadi seorang pengacara hak asasi
manusia sebelum terpilih sebagai anggota parlemen Partai Buruh untuk konstituen
London utuk Tooting pada 2005.
Pada 2008, Gordon Brown, mantan Perdana Menteri Inggris
memasukkan Khan di kabinetnya sebagai Menteri Masyarakat dan kemudian Menteri
Transportasi. Setelah Buruh kehilangan kekuasaan pada 2010, pemimpinnya, Ed
Miliband memasukkan Khan dalam kabinet bayangan.
Pada 11 Mei 2015, pria kelahiran 8 Oktober 1970 ini
mengundurkan diri dari kabinet bayangan untuk menjadi nominasi calon wali kota
Partai Buruh. Ia memenangkan pencalonan pada 11 September 2015.
Sumber: http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/global/16/05/08/o6tgu4365-mengenal-lebih-dekat-sadiq-khan-wali-kota-london-muslim-pertama-part1
Sadiq Khan becomes first Muslim mayor of London
LONDON:
Opposition Labour lawmaker Sadiq Khan was elected mayor of London with 57 per
cent of the vote, final results showed Saturday, making him the first Muslim
mayor of a major Western capital.
The
45-year-old son of a London bus driver and a seamstress won 1,310,143 votes against
994,614 for his main Conservative rival Zac Goldsmith, 41, the son a wealthy
tycoon.
Labour
leader Jeremy Corbyn hailed Khan's win over Conservative Zac Goldsmith, after a
bitter campaign in which Prime Minister David Cameron sought to link Khan to
Islamic extremists.
“Congratulations
Sadiq Khan. Can't wait to work with you to create a London that is fair for
all!” Corbyn wrote on Twitter ahead of the publication of final results.
After
a negative campaign in which Khan was accused by his rival of sympathising with
Islamic extremists, the 45-year-old former human rights lawyer promised in his
acceptance speech to be a “mayor for all Londoners”.
“This
election was not without controversy and I am so proud that London has today
chosen hope over fear and unity over division,” he said after the result was
declared at City Hall, to applause and cheers from supporters.
London's new Mayor Sadiq Khan (R) addresses the media as Paul Golding
(Far L) the candidate for Britain First, turns his back during the address at
City Hall in central London on May 7, 2016. —AFP
“I
hope that we will never be offered such a stark choice again. Fear doesn't make
us safer, it only makes us weaker, and the politics of fear is simply not
welcome in our city."
As
he was speaking the candidate for the far-right Britain First party, Paul
Golding, who was lined up with the other loosing candidates behind Khan, turned
his back.
The
local MP for Tooting, Khan succeeds the charismatic Boris Johnson, an advocate
of Britain's departure from the European Union who is seen as one of the
favourites to succeed Cameron.
Other
mayors including Anne Hidalgo in Paris and Bill de Blasio in New York quickly
congratulated Khan.
“Sending
congratulations to London's new mayor and fellow affordable housing advocate
Sadiq Khan,” de Blasio said.
Corbyn,
who has faced opposition from centrists in his party since becoming leader last
year, insisted his party had “hung on” and surpassed expectations.
“All
across England last night we were getting predictions that we were going to
lose councils. We didn't,” he said.
“We
hung on and we grew support in a lot of places. “With results in from 110 out
of 124 councils, Labour had 55, down one, and 1,176 seats, down 25.
Prime
Minister David Cameron's Conservatives had control of an unchanged 30 councils
and 650 seats, down 23.
A
BBC projection suggested that Labour would win 31 percent of the vote share
nationally compared to 30 percent for the Conservatives.
“The
Labour Party is in serious trouble, although the likely election of a Labour
candidate to be London mayor will distract from that,” said Matthew Goodwin,
politics professor at Kent University.
The
voting day dubbed “Super Thursday” in which 45 million Britons were eligible to
vote came after a bitter few weeks of sniping between the Conservatives and
Labour.
Corbyn
set up an inquiry into anti-Semitism and racism in Labour after former London
mayor Ken Livingstone was suspended for claiming Nazi dictator Adolf Hitler
supported Zionism.
Several
other Labour politicians were also suspended.
Cameron
is also grappling with deep splits in his party ahead of the June 23 referendum
on Britain's membership of the European Union.
London mayor: The Sadiq Khan story
,
7 May 2016
Sadiq Khan's life to date has been characterised by
beating the odds - which is what he has just done to become mayor of London.
When Labour politicians put themselves forward to run for
mayor last year, Mr Khan was far from being the favourite. The bookies' money
was on Baroness Jowell, a veteran of the Tony Blair years who had helped bring
the Olympics to London.
But if there is a pattern in Mr Khan's career, it's one
of coming from behind.
The new mayor did not have a privileged start in life. He
was one of eight children born to Pakistani immigrants, a bus driver and a
seamstress, on a south London housing estate.
From an early age, he showed a firm resolve to defy the
odds in order to win success for himself and the causes important to him.
That resolve has won him the biggest personal mandate in
the UK, a job with wide-ranging powers over London and with enormous emotional
significance for him.
Some question whether he has the experience or record of
good judgement necessary for the role.
He insists he is there to represent all Londoners and to
tackle inequality in the capital, and now he has the chance to prove it.
Image copyright Getty
Images Image caption Sadiq Khan
says he will represent all Londoners - he may not have time for selfies with
them all
Age: 45
Marital status: Married with two daughters
Political party: Labour
Time as MP: Has represented Tooting in south London since 2005
Previous jobs: Human rights solicitor, chair of Liberty
Council estate beginnings
Image copyright Sadiq
Khan Image caption Sadiq Khan,
centre, and two of his brothers
"Son of a bus driver" became one of the most
hackneyed phrases in Mr Khan's time on the stump - so overused in his leaflets
and speeches that he was eventually forced to make fun of his own campaign,
joking he had given the Daily Mirror an "exclusive" on his
background.
But his parents' story holds real significance for him.
Amanullah and Sehrun Khan emigrated from Pakistan to London shortly before
Sadiq was born, in 1970. He was the fifth of their eight children - seven sons
and a daughter.
He has often said that his early impressions of the world
of work shaped his belief in the trade union movement. His father, a bus driver
for 25 years, "was in a union and got decent pay and conditions"
whereas his mum, a stay-at-home seamstress, "wasn't, and didn't".
He lived with his parents and siblings in a cramped
three-bedroomed house on the Henry Prince Estate in Earlsfield, south-west
London, sharing a bunkbed with one of his brothers until he left home in his
20s.
He attended the local comprehensive, Ernest Bevin
College, which he describes as "a tough school - it wasn't always a bed of
roses". The nickname "Bevin boys" was at that time in that part
of south London a byword for bad behaviour.
It was at school that he first began to gravitate towards
politics, joining the Labour Party aged 15. He credits the school's head, Naz
Bokhari, who happened to be the first Muslim headteacher at a UK secondary
school, with making him realise "skin colour or background wasn't a
barrier to making something with your life".
Mr Khan was raised a Muslim and has never shied away from
acknowledging the importance of his faith. In his maiden speech as an MP he
spoke about his father teaching him Mohammed's sayings, or hadiths - in
particular the principle that "if one sees something wrong, one has the
duty to try to change it".
He was an able student who loved football, boxing and
cricket - he even had a trial for Surrey County Cricket Club as a teenager. He
has since spoken about the racist abuse he and his brothers faced at
Wimbledon and Chelsea football matches, saying he felt "safer"
watching at home and became a Liverpool fan simply "because they were
playing such great football at the time".
He studied maths and science at A-level with the idea of
becoming a dentist. He was switched on to law by a teacher who told him
"you're always arguing" - and by the TV programme LA Law, starring Jimmy Smits as Victor Sifuentes, a charismatic partner in a
California law firm.
"LA law was about lawyers in LA who do great cases,
act for the underdog, drove nice cars, look great and I wanted to be
Sifuentes," Mr Khan told Business Insider recently.
Image copyright Sadiq
Khan Image caption He abandoned
the idea of training as a dentist in favour of law after a teacher told him
"you're always arguing"
Courtroom crusader
He studied law at the University of North London and put
his degree to good use straight away, becoming a trainee solicitor in 1994 at
Christian Fisher under the human rights lawyer Louise Christian.
The same year he met and married his wife Saadiya Ahmed,
a fellow solicitor and coincidentally the daughter of a bus driver - with whom
he went on to have two daughters, Anisah and Ammarah. He also began his 12-year
stint as a councillor for Tooting, encouraged by Guyanan-born local activist
Bert Luthers.
Just three years later, aged 27, he was made an equity
partner and the firm was renamed Christian Khan.
During this time he worked on a number of high-profile
cases: he won compensation for Kenneth Hsu, a hairdresser wrongly arrested and
assaulted by the police; teachers and lawyers who had experienced racial
discrimination; Leroy Logan, a senior black police officer
accused of fraud; corrupt former Met Police commander Ali Dizaei; and helped overturn an exclusion order (later upheld on appeal) on US
political activist Louis Farrakhan.
The irony of a man who represented people in cases
against the Met going on to become the force's chief scrutineer has not been
lost on his opponents. Conservative candidate Zac Goldsmith, speaking at an
event alongside Home Secretary Theresa May, recently characterised Mr Khan's
legal career as "coaching people in suing our police".
He left his law firm somewhat abruptly in 2004,
afterwards telling the Law Gazette: "If you're in government, you're
a legislator and you have the opportunity to make laws that can improve things
for millions of people."
In 2005, Mr Khan fought and retained the marginal seat of
Tooting for Labour, one of five new ethnic minority MPs elected that year.
Contemporaries on either side of the political divide
remember being impressed by a "fiercely bright" and
"persuasive" individual who was "impossible not to listen
to".
He combines that sharpness with what is often called his
"cheeky chappy" demeanour. He is fond of calling people
"mate" and has even done so on the floor of the Commons.
'Voice of reason'
When Parliament met to discuss the attacks, he told MPs:
"Today Londoners and the rest of the UK have even more reason to be proud
of Londoners - proud of the way heroic Londoners of all faiths, races and
backgrounds, victims, survivors and passers-by, acted on Thursday; proud of the
way ordinary courageous Londoners carried on with their business and stopped
the criminals disrupting our life."
In a 2010 Guardian interview, he recalled thinking: "I
couldn't hide - and I don't mean this in an arrogant way, but there were so few
articulate voices of reason from the British Muslim community.
"There were angry men with beards, but nobody
saying, 'Actually, I'm very comfortable being a Brit, being a Muslim, being a
Londoner'."
The intervention marked him out as one to watch, but his
path to promotion was not altogether smooth.
Image caption He felt the
attention of the national media over an incident in which police bugged a
conversation with his constituent Babar Ahmad
Mr Khan wore his civil liberties credentials on his
sleeve, challenging the government over ID cards and joining 48 other Labour
rebels to vote against prime minister Tony Blair's plan to allow the detention
of terror suspects without charge for up to 90 days.
He later claimed party chiefs had penalised him by
preventing him from visiting Pakistan in the wake of an earthquake there and
did not want to give him an office with a sofa.
But the rebellion was not altogether to his disadvantage.
Tony Blair was on his way out, and Mr Khan was able to
position himself on the ascendant "soft left" of the Labour party
alongside Ed Balls and Gordon Brown.
Sadiq Khan in his own words
"It was a tough school; it wasn't always a bed of
roses. But you become street wise, you become savvy and you learn social skills
- you learn about how to deal with people." - on his schooldays
"The way allegations of misconduct against police
officers are investigated is flawed and inadequate." - as a human rights
solicitor
"Although I'd won cases at the European Court of
Human Rights, and I'd won cases in the House of Lords and the Court of Appeal,
I still couldn't escape the fact that if you're part of the legislature and the
executive, you can make legislation that improves the quality of life for
literally millions of people." - on leaving law to become an MP
"Today Londoners and the rest of the UK have even
more reason to be proud of Londoners - proud of the way heroic Londoners of all
faiths, races and backgrounds, victims, survivors and passers-by, acted."
- on the 7/7 attacks
"Most people feel nagged by their parents from time
to time, but very rarely is it about the future of bus regulation." - on
his father
"I sleep in my own bed. When I get home I put the
rubbish out and get my girls up to go to school." - on staying grounded
"For the last eight years you've seen a red carpet
mayor, somebody who is fantastic going to openings, great with a flute of
champagne in his hand. I'd rather roll up my sleeves and fight for all
Londoners." - on launching his mayoral bid
When Gordon Brown took over at Number 10, Mr Khan was
given his first job in government as a whip and then as communities minister, a move that
created disquiet among some other MPs in the capital who had been around for
longer.
A post at the Department for Transport followed in 2009
and he became the first Muslim in the Cabinet. This was at a time when there
were only four Muslim MPs and he was often confused for international
development minister Shahid Malik.
He would go on to claim during the mayoral campaign that
as transport minister he had "pushed" Crossrail through Parliament,
but the Mayorwatch website has shown Mr Khan only took on responsibility for
the project after the relevant bill had become law.
At the 2010 election, Mr Khan's own majority was squeezed
to an uncomfortably small margin of just
2,524 votes and
Labour was out of government for the first time in 13 years.
In the chaotic months of Labour soul-searching that followed,
he again showed a canny ability to ally himself with what was seemingly a lost
cause and turn it into success.
True to his Brownite colours, he was chosen as Ed
Miliband's campaign manager and helped steer the less-favoured Miliband brother towards an unexpected leadership
election victory.
Image copyright Getty
Images Image caption Even when the
chances of Ed Miliband winning the leadership looked remote, Mr Khan says he
had "a feeling we'd done it"
He told the New Statesman afterwards that the night before the result, he
told Miliband to "prepare for defeat".
"I learned this from (television series) Rumpole of the Bailey," he said. "Always tell your client he's going
to lose because, if he loses, he's expecting it; if he wins, you're the
fantastic lawyer who got the victory." However, he added: "I had a
feeling we'd done it."
In that contest, as in the Labour mayoral nomination, Mr
Khan's support for the trade union movement helped his campaign secure crucial
votes.
He was rewarded with the post of shadow justice secretary
- a role in which he did not get off to an auspicious start. His first major
speech was badly received when he chose to highlight Labour's failings in government, and in then Justice Secretary Ken Clarke he faced an adversary with whom he admitted he struggled to find things
to disagree about.
His other brief as shadow political reform minister did
not provide much of a chance to shine either, as the coalition needed little
help killing off its own proposals for Lords reform and his personal support
for changes to the voting system was tempered by his view that the referendum
on this - which saw the British public reject change - came at the wrong time.
When Mr Clarke was sacked and replaced with Chris
Grayling, however, Mr Khan was able to take the fight to the despatch box more
convincingly as a vocal opponent of reforms to legal aid and restrictions on
books in prisons.
When the Conservatives later reversed several of Mr
Grayling's flagship policies he described it as a "huge climbdown"
that showed Labour had been right to resist them.
A surprise choice
Labour's disastrous showing in the 2015 election and the swift resignation of Ed
Miliband - the man he had helped to the leadership - could have thrown Mr Khan
off-course, but he found a new focus for his campaigning energy.
Just a week after the election he announced he would seek
the Labour nomination for mayor. He had already been tipped as a possible
contender for at least a year but, with typical shrewdness, he had steadfastly
refused to be drawn on the subject in public while sounding out MPs and
councillors in private to see if he had enough support.
Once he had confirmed his mayoral ambitions, his quest
for the nomination - let alone an election win - still seemed like a long shot.
Baroness Jowell, who had been MP for Dulwich and West Norwood for 23 years and
held a number of senior ministerial positions under Labour, was widely seen as
the natural choice.
That received wisdom was upended during the Labour
leadership contest, when commentators predicted the influx of new members into
the party over the summer of "Corbynmania" could play into Mr Khan's
hands. He would take some flak over his role in Jeremy Corbyn's election as party leader, as he nominated him
but later voted for Andy Burnham.
In the event, however, Mr Khan came out top as Labour
choice of candidate not just with new members but in all three groups who could
vote. It was a remarkable victory which, as the BBC's Norman Smith observed on the day, surprised him as much as it did his
rivals.
The campaign that ensued was bloody. A former aide to
long-time Labour deputy leader Harriet Harman, Ayesha Hazarika, reflected that
when Zac Goldsmith - who had a reputation for being decent, attractive and
independent-minded - was first picked as the Conservative candidate there was
despondency in Labour ranks.
Image copyright Getty
Images Image caption The two rivals
pictured at an early stage of the race, which became increasingly fraught
Mr Khan said himself at one hustings that he thought his
opponent had been a "nice guy until [Conservative strategist] Sir Lynton
Crosby got his hands on him".
Whoever came up with the approach, Mr Goldsmith's
campaign focused heavily on portraying Mr Khan as an associate of
"extremists" - which in turn allowed Labour to attack the
Conservatives for pursuing "divisive, dog-whistle" tactics.
Mr Khan took this to be an attempt to smear him by
association because of his religion. The Conservatives insisted they were
talking about his brand of left-wing politics - but Mr Goldsmith repeatedly
said the Labour candidate had "given platform, oxygen and cover to
extremists".
It became a source of such bitter tension between the two
camps that when David Cameron stuck up for Mr Goldsmith's campaign at prime
minister's questions he found the word "racist" flung back at him
from the Labour benches.
While polls consistently suggested Mr Khan was ahead,
Labour pessimists and Conservative optimists would remind themselves that Mr
Goldsmith was likely to benefit from a Tory incumbency, from lower turnout
among groups that tended to vote Labour, and from the under-reporting of
Conservative support seen at the 2015 general election.
But those things were not enough - or proved not to be
the case at all. Voter turnout was 45%, an increase of 7% on 2012, and it was
clear quite early on in the day that Mr Khan had a healthy lead over his
Conservative rival.
'Huge moment'
Another London Labour MP born to immigrant parents, David
Lammy, told the BBC Mr Khan's election was a "huge moment" and
predicted: "If we ever see a black or Asian prime minister in this country
I have no doubt they will owe an enormous debt to Sadiq Khan."
Now, the boy from Tooting will have to prove himself all
over again.
Love them or loathe them, the mayor's predecessors Boris
Johnson and Ken Livingstone - the only other men to have done the job - are
political heavyweights.
Even within his own party, Mr Khan has been accused of
lacking vision. The perception of him as inexperienced also lingers on.
Image copyright PA Image caption Sadiq Khan may
be a Liverpool fan but he joined Labour leader Jeremy Corbyn at an Arsenal
match this season
One close Labour ally pointed out that "unlike Ken,
he has held ministerial office - but more than that, he represents the future.
Unlike Boris he'll be wholly focused on getting results for London - this isn't
just a stepping stone for his career".
She predicted he would be anxious to make good on the
ambitious promises he made during the campaign, particularly on addressing
London's housing problems.
If that were not enough to be getting on with, he faces a
dilemma over how to navigate between co-operating with the Conservative
government and teaming up with Jeremy Corbyn's Labour Party in condemnation of
the Tories.
In this respect he may hope to repeat the tactics of
Boris Johnson, who managed to pull off alternately angering and assisting the
government.
If he is to succeed he will need to display the same
knack for steering his own course as he has shown as a schoolboy, a campaigning
lawyer, a backbench MP and a shadow minister.
But those who voted for him will not forget his emphasis
on his own disadvantaged background, his speeches about social justice and his
promise to be a "mayor for all Londoners".
[1]
Berdasarkan penelitian oleh Open Sicety Institute (OSI), pada 2004, sekitar
delapan dari sepuluh warga Muslim Inggris mengaku merasakan kontradiksi antara
menjadi masyarakat yang baik atau menjalankan agamanya, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/14/09/01/nb6mku-ini-hasil-survei-soal-islamophobia-di-inggris
diakses pada 12 Mei 2016 pukul 04:50 wib
[2]
Kerajaan Inggris sendiri merupakan bangsa yang dicatat dalam sejarah sebagai
bangsa yang mempunya nenek moyang yang agresif, pengarung samudera dan penakluk
bangsa-bangsa lain yang lebih terbelakang. Inu Kencana Syayafiie dn Andi
Azikin, 2007. Perbandingan Pemerintahan. Bandung:
Refika Aditama. Hlm. 36.
[3]
Multikulturalisme di Indonesia sebenarnya telah digalakkan di Indonesia sejak
masa Presiden Megawati Soekarnoputri, yang menghimbau Departemen Agama agar
mengembangkan pola pendidikan agama yang berwawasan multikultural (oktober,
2001). Zubaedi (2004) Telaah Konsep Multikulturalisme dan Implementasinya dalam
Dunia Pendidikan. Jurnal Hermeneia\Vol-3-No-1-2004.
[4] Inu
Kencana Syafiie dan Andi Azikin, 2011. Perbandingan
Pemerintahan. Bandung: Refika Aditama.
[5]
Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews (editor), 2011. Perbandingan Sistem
Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hlm. 172
[6] Ibid. Hlm. 176.
[7] Loc.cit
[8]
Secara sederhana, dalam sistem hukum Anglo Saxon lebih bertumpu pada putusan pengadilan daripada
produk legislasi. Hal ini tentu sangat relevan dengan penjelasan sebelumnya
jika parlemen Inggris sebenarnya tidak melakukan fungsi yang efektif, khususnya
sebagai dalam bidang legislasi
[9]
Ibid. Hlm. 182
[10] Hal
ini dimungkinkan karena peranan living law
(hukum adat, hukum kebiasaan, atau hukum yang tumbuh, diakui, dan
dilaksanakan oleh masyarakat) lebih dominan. Berbeda dengan negara-negara yang
memiliki konstitusi tertulis, cenderung represif karena prosedur dan teknis
peradilan yang rigid.
[11]
Mohtar Mas’oed, op.cit. Hlm. 60
[12]
Mohtar Mas’oed, ibid. Hlm 61
[13] Pola
demikian hampir identik dengan konsep pemerintahan daerah di Indonesia, dimana
Sekretaris Daerah, merupakan pegawai negeri sipil, sedangkan kepala daerah
merupakan pejabat hasil pilihan masyarakat, sehingga terjadi perbedaan sumber
kekuasaan yang melegitimasi jabatannya.
[14] Loc.cit
[15]
Perilaku Pemilih pada Pemilu, dimuat dalam Lampung Post 25 Maret 2014.
http://lampost.co/berita/perilaku-pemilih-pada-pemilu
[16] Loc.cit
[17] Loc.cit
[18] Loc.cit
[19] Loc.cit
[20]
Faisal Ismail, 1999. Ideologi Hegemoni
dan Otoritas Agama Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila.
Yogyakarta: Tirta Wacana. Hlm 69.
[22]
Selengkapnya: http://lampost.co/berita/-politik-gentong-babi- (17
April 2015) diakses pada 24 April 2015
[23]
Kendatipun rival politiknya, Zac
Goldsmith bukan merupakan petahana/incumben,
namun tetap tidak menutup kemungkinan adanya dukungan dari balik kekuasaan politis
pemerintah masih berkuasa.
Keren..